Selasa, 03 Mei 2011

BENCANA ALAM GEMPABUMI:
TINJAUAN UMUM DAN TINDAKAN MITIGASINYA

Arif Ashari


Abstrak

Indonesia merupakan salah satu wilayah di dunia yang memiliki resiko bencana gempabumi sangat tinggi. Hal ini merupakan pengaruh dari posisi indonesia yang berada pada zona pertemuan Lempeng Eurasia dengan Lempeng Hindia-australia dan Lempeng Pasifik. Berbagai peristiwa gempabumi yang telah terjadi menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda dalam jumlah yang tidak sedikit. Kita hidup di alam Indonesia dengan kondisi rawan gempa yang tidak dapat dirubah, akan tetapi kita masih dapat melakukan tindakan dengan menyadari kondisi kita, memahami gempabumi, sehingga dapat melakukan tindakan mitigasi untuk meminimalkan akibat terjadinya gempabumi baik korban jiwa ataupun kerugian harta benda mengingat gempabumi merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat diramalkan kapan terjadinya.
Gempabumi secara umum dapat dibedakan menjadi empat yaitu gempa tektonik, vulkanik, runtuhan dan meteorik. Gempabumi yang banyak terjadi di Indonesia dan menimbulkan kerusakan adalah gempa tektonik. Gempa ini disebabkan oleh adanya tumbukan antar lempeng. Selain menyebabkan kerusakan, gempabumi juga menyebabkan dampak lainnya seperti getaran, patahan, longsor, kebakaran, liquiefaction, dan tsunami. Gempa yang terjadi di suatu tempat seringkali memicu gempa di tempat lain, hal ini karena antar tempat tersebut terdapat saling keterkaitan dalam satu zona tumbukan lempeng yang sama, sehingga energi suatu gempa akan memicu gempa di tempat lainnya. Pengaruh ini seringkali muncul secara acak yang diantaranya tergantung dari kondisi dan ketahanan suatu blok terhadap gelombang gempa.
Banyaknya korban jiwa dan harta benda dalam setiap peristiwa gempabumi salah satunya adalah karena kurangnya kewaspadaan masyarakat. Yang juga dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan terhadap gempabumi. Seringkali hal ini dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menyebarkan isu yang membuat kepanikan masyarakat. Peristiwa semacam ini tidak perlu terjadi apabila masyarakat kita memiliki pemikiran sadar gempa, memahami sitasi dan kondisi, dan kemudian membangun pola hidup untuk meminimalisir segala resiko yang mungkin dihadapi. Kerawanan gempa merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah, akan tetapi tindakan mitigasi dapat terus diupayakan. Dalam hal ini masyarakat dapat bekerjasama dengan berbagai pihak terkait baik pemerintah ataupun lembaga non-pemerintah. Upaya mitigasi dapat dilakukan baik secara fisik maupun sosial, dalam lingkup individu, rumah tangga, masyarakat, sekolah dan berbagai komunitas lainnya.

Kata Kunci: Gempabumi, Tindakan mitigasi
A.Pendahuluan
Dalam berbagai pustaka yang relevan dengan kajian bencana, dinyatakan bahwa wilayah Indonesia sangat rawan terhadap berbagai jenis bencana, baik bencana yang disebabkan oleh bahaya alam (natural hazards) maupun bahaya non alam (man-made hazards) (Sudibyakto, 2007). Bencana (Disaster) merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan maupun penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam ataupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki resiko bencana sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya jenis bahaya (hazards) juga meningkatnya jumlah manusia yang rentan terhadap ancaman bencana dan ketidak mampuan menghadapi bencana itu sendiri. Ancaman dari potensi bencana tersebut seringkali memunculkan istilah living with risk, living safely with disaster, dsb. (Sudibyakto, 2007).
Salah satu bencana alam yang banyak terjadi di Indonesia adalah gempabumi. Peristiwa gempabumi yang telah terjadi di beberapa daerah ternyata banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda. Sebagai masyarakat yang hidup di daerah dengan tingkat resiko bencana gempabumi yang tinggi tentunya kita selalu dituntut untuk memahami seluk-beluk gempabumi itu sendiri. Apa, mengapa, dan bagaimana gempabumi bisa terjadi, sehingga kemudian dapat melakukan tindakan mitigasi untuk meminimalkan akibat dari terjadinya gempabumi baik korban jiwa ataupun kerugian harta benda.
Peristiwa gempabumi merupakan peristiwa alam yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja di permukaan bumi ini tanpa dapat diketahui dan diprediksi oleh siapapun. Gempabumi pada dasarnya merupakan suatu peristiwa bergetarnya lapisan kulit bumi yang diakibatkan oleh suatu sebab seperti pergerakan lempeng tektonik, letusan gunung berapi, runtuhnya gunung es, longsoran pada lereng benua di permukaan air laut, atau bahkan akibat dentuman bom dan jatuhnya meteor atau benda langit lainnya yang menabrak permukaan bumi (Santosa, 2007).
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa gempabumi tidak dapat diramalkan kapan terjadi apalagi dilakukan tindakan preventif. Sehingga dalam hal ini, sebagai masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempabumi pemahaman tentang gempabumi merupakan sesuatu yang sangat penting, dalam hal ini terutama berkaitan dengan kemampuan mitigasi. Sejak jaman dahulu nenek moyang kita telah hidup di daerah dengan resiko bencana tinggi, akan tetapi setiap kali terjadi bencana saat itu juga kemudian banyak jatuh korban jiwa dan kerugian harta benda dalam jumlah yang tidak sedikit. Hal ini akibat dari kurangnya pemahaman terhadap bencana itu sendiri serta kemampuan menghadapi bencana tersebut.
Beberapa hal penting yang harus selalu diperhatikan adalah memahami bahwa Indonesia merupakan wilayah yang memiliki resiko bencana sangat tinggi, diantaranya gempabumi. Kehidupan kita sangat dekat dengan gempabumi. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang peristiwa gempabumi, bagaimana proses terjadinya, mengapa, serta dampak apa saja yang ditimbulkannya sehingga kita memiliki kesiapsiagaan dan kemampuan untuk menghadapi bencana tersebut.
B.Tinjauan Umum Gempabumi
Gempabumi adalah getaran bumi yang disebabkan oleh pelepasan tenaga secara cepat (Soetoto, tanpa tahun). Siddiq (1986) dalam Sudibyakto (2000) mendefinisikan gempabumi sebagai getaran tanah yang disebabkan oleh gelombang elastis yang merambat di permukaan bumi akibat energi yang dilepaskan oleh sumber gempa yaitu sesaran dari lempeng-lempeng tektonik yang saling mendesak satu sama lain yang terjadi di bawah permukaan tanah.
Pengertian lainnya diantaranya menurut UNDP (1995) yaitu gempabumi merupakan salah satu bahaya alam (natural hazard) yang sifatnya sangat merusak, terjadinya sangat tiba-tiba dengan peringatan awal yang sangat kecil. Sedangkan Boen (2000) dalam Sudibyakto (2000) menyatakan bahwa gempabumi adalah suatu gejala fisik yang ditandai dengan bergetarnya bumi dengan berbagai intensitas. Getaran-getaran tersebut diatas terjadi karena terlepasnya suatu energi secara tiba-tiba. Selain itu gempabumi juga dapat dipahami sebagai goyangan tanah atau bumi, dalam bahasa teknis merupakan gerakan bumi secara tiba-tiba yang disebabkan oleh terlepasnya energi yang telah tersimpan lama didalam bumi (Naryanto, Tejakusuma, Kuniawan, 1999).
Macam gempabumi dapat dibedakan menjadi empat yaitu (1) Gempa tektonik: terjadi akibat tumbukan, pergesaran, dan pemisahan lempeng. Gempa ini merupakan yang paling umum terjadi. (2) Gempa vulkanik: terjadi dari pengaruh aktivitas gunung berapi. (3) Gempa runtuhan: terjadi akibat adanya runtuhan massa yang besar. Gempa meteorik: terjadi oleh adanya benda ruang angkasa yang terjatuh ke bumi. Jenis gempa ini jarang terjadi. Penilaian bencana tergantung pada dimensinya.
Getaran yang terjadi dalam peristiwa gempabumi dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu: Foreshock, merupakan gempa pendahulu, gempa kecil yang mendahului gempa utama. Kemudian Major Earthquake, atau gempa utama, merupakan gempa yang paling kuat. Selanjutnya yang terakhir adalah After Shocks, adalah gempa susulan yang jauh lebih kecil dari gempa utama.
Gelombang dalam gempabumi diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu:
1.Surface wave, gelombang yang merambat di permukaan.
2.Body wave, gelombang yang merambat di dalam bumi, langsung dari fokus (hiposentrum). Kelompok ini masih dibagi menjadi dua macam yaitu:
a.Gelombang primer (P) arah getarannya searah dengan arah merambatnya. Getaran ini bersifat kompresif dan tarikan (push-pull)
b.Gelombang sekunder (S) arah getarannya tegak lurus terhadap arah merambatnya.
Kecepatan gelombang primer lebih besar dari kecepatan gelombang sekunder. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar berikut:

Gambar 1.
Pergerakan gelombang gempa
Dari gambar diatas dapat diketahui beberapa hal berkaitan dengan pergerakan gelombang gempa diantaranya adalah bahwa gelombang primer merupakan gelombang yang paling cepat. Saat melintas gelombang meremas dan menekan butir batuan. Gelombang sekunder menyebabkan tanah bergerak naim turun dan menyamping. Sedangkan gelombang permukaan menyebabkan tanah tergulung seperti ombak.

Teori terjadinya gempabumi
Pada bagian terdahulu telah disebutkan macam-macam gempa beserta penyebab terjadinya. Pada bagian ini akan dijelaskan lebih jauh proses terjadinya gempa tektonik, dimana gempa ini merupakan yang paling umum terjadi di Indonesia. Selain itu disebutkan pula bahwa gempa tektonik merupakan gempa yang paling dahsyat dalam memberikan dampak bagi kehidupan (Sudibyakto, 2000).
Boen (2000) dalam Sudibyakto (2000) menyatakan salah satu teori yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana terjadinya gempa tektonik adalah teori elastic rebound yang dikemukakan oleh reid. Menurut teori ini, di dalam bumi senantiasa ada aktivitas geologis yang mengakibatkan pergerakan relatif suatu massa batuan di dalam kulit bumi terhadap yang lain. Gaya-gaya yang menimbulkan pergerakan batuan ini disebut gaya tektonik. Ketika tegangan yang terjadi pada batuan tersebut melampaui kekuatannya batuan tersebut akan hancur pada bagian yang terlemah yang disebut sebagai sesar (fault). Batuan yang hancur tersebut akan melepaskan sebagian atau seluruh tegangan untuk kempali pada keadaan semula yang bebas tegangan.
Selanjutnya Boen (2000) menyatakan bahwa hancuran batuan didalam kulit bumi tersebut akan disertai dengan pemancaran gelombang-gelombang ke segala arah, bahkan jauh sekali tergantung energi yang dilepaskan. Karena bumi tidak homogen dan terdiri atas bermacam bahan dan lapisan gelombang tersebut dalam perjalanannya ke permukaan bumi akan mengalami berbagai perubahan yaitu diredam, dipantulkan, dibiaskan baik di batas-batas, lapisan-lapisan, maupun permukaan. Akibatnya jalannya gelombang gempa tadi menjadi tidak beraturan, rumit, serta sulit untuk dapat diramalkan. Gambar berikut akan memperjelas uraian tentang pergerakan lempeng, sesar aktif penyebab gempa dan proses terjadinya gempa tektonik itu sendiri.















Gambar 2.
Pergerakan dinamik dalam bumi dan pengaruhnya dalam membangun teori lempeng tektonik

Kaitan antara pergerakan lempeng, sesar, dan proses terjadinya gempa ditunjukkan oleh gambar 3 berikut ini:

Kondisi pra gempa, di sebagian kerak bumi terdapat retakan berupa sesar.
Apabila mendapat tekanan, terjadi pe-nimbunan energi sepanjang bidang sesar.


Setelah tertimbun relatif lama, energi cukup kuat untuk melakukan pergeseran pada bidang sesar, menghasilkan pusat gempa.
Energi terlepas secara cepat sebagai gelombang gempa ke segala arah

Skala Gempabumi
Pada umumnya besaran gempabumi dinyatakan dalam dua macam yang mempunyai makna berbeda yaitu magnitude dan intensity (Sudibyakto, 2000). Magnitude (besaran) menunjukkan besaran atau jumlah energi yang dilepaskan pada suatu pusat gempa (Hypocenter) yang dapat diukur dengan seismograf. Magnitude pertama kali didefinisikan oleh Charles Richter tahun 1935, sehingga kini dikenal sebagai skala Richter. Sedangkan Intensity (intensitas) biasanya digunakan dalam menentukan kuatnya getaran tanah akibat suatu gempa dengan melihat respons orang atau bangunan yang terasa atau terjadi pada saat gempa berlangsung pada lokasi tertentu (Siddiq, 1999 dalam Sudibyakto, 2000). Intensitas gempa oleh Boen (2000) kemudian dinyatakan secara sederhana merupakan derajat kerusakan akibat gempabumi jadi merupakan intensitas maksimum yang dihasilkan oleh gempa tersebut. umumnya menggunakan skala intensitas menurut tingkat kerusakan atau yang dirasakan manusia. Salah satu skala intensitas yang dikenal adalah MMI (Modified Mercalli Intensity) digunakan sejak tahun 1956. meskipun demikian skala intensitas sifatnya sangat subyektif dan telah digunakan sejak sebelum ditemukan alat-alat pencatat gempabumi. Tingkatan dalam skala ricter dapat dilihat sebagai berikut:
< 2,0 Umumnya tak terasa, tapi terekam 2,0-2,9 Getaran hampir terasa, belum terasa oleh kebanyakan orang 3,0-3,9 Terasa oleh sebagian kecil orang 4,0-4,9 Terasa oleh hampir semua orang 5,0-5,9 Mulai menimbulkan kerusakan 6,0-6,9 Menimbulkan kerusakan pada daerah padat penduduk 7,0-7,9 Gempa skala besar, getaran kuat, menimbulkan kerusakan besar 8,0-8,9 Gempa dahsyat, getaran kuat, kehancuran dekat epicentrum Sedangkan tingkatan dalam skala Mercalli dapat dilihat sebagai berikut: Skala I : Tak terasa, kecuali dalam keadaan sangat tenang Skala II: Terasa oleh beberapa orang di gedung lantai atas Skala III: Terasa di dalam rumah tapi dianggap bukan gempa Skala IV: Terasa di dalam rumah dan di luar rumah seperti truk lewat Skala V: Terasa oleh semua orang, banyak yang terbangun dari tidur Skala: VI: Terasa oleh semua orang, ketakutan, lari keluar. Kerusakan kecil Skala VII: Setiap orang lari keluar. Kerusakan pada gedung dengan konstruksi jelek Skala VIII: Gedung dengan konstruksi baik rusak sedikit. Cerobong pabrik patah Skala IX: Gedung dengan konstruksi baik banyak rusak. Pondasi bergeser, tanah retak Skala X: Gedung dengan konstruksi baik hancur. Retak besar, ambles Skala XI: Hanya sedikit bangunan yang masih berdiri, jembatan hancur, rekahan melebar Skala XII: Kehancuran total, tanah berombak, barang-barang terlempar ke udara Parameter Gempabumi Parameter gempabumi menurut Boen (2000) dalam Sudibyakto (2000) biasanya digambarkan dengan tanggal terjadinya, waktu terjadinya, koordinat epicenter (dinyatakan dengan koordinat garis lintang dan garis bujur), kedalaman Hypocenter, Magnitude, dan intensitas maksimum. Hypocenter adalah titik dimana mula-mula pergerakan seismik terjadi. Sering pula disebut focus, center. Jadi lokasi hipocenter berada jauh dibawah permukaan bumi. Definisi lain menyatakan bahwa hiposenter adalah titik dibawah permukaan bumi tempat gelombang gempa pertama kali dipancarkan (Boen, 2000 dalam Sudibyakto, 2000). Pusat gempa ini biasanya ditentukan melalui analisis data pada seismograf. Menurut Soetoto (tanpa tahun) pengukuran pusat gempa dapat ditentukan dengan terlebih dahulu mengetahui selisih waktu kedatangan surface wave dan body wave sehingga jarak pusat gempa ke seismograf dapat diketahui. Kemudian dengan mengetahui jarak pusat gempa dari beberapa stasiun pengamatan, maka lokasi pusat gempa dapat diketahui. Episenter merupakan hasil proyeksi hiposenter ke permukaan bumi, atau dapat disebut juga sebagai titik di permukaan bumi yang didapat dengan menarik garis melalui fokus tegak lurus pada permukaan bumi. Parameter lainnya adalah jarak fokus dan jarak episenter. Jarak fokus adalah jarak dari suatu titik di permukaan bumi terhadap hiposenter, sedangkan jarak episenter adalah jarak suatu titik ke episenter. Berdasarkan kedalaman fokus suatu gempabumi dapat diklasifikasikan menjadi gempa dangkal (kedalaman fokus <60-70 km), gempa menengah (70-300 km), dan gempa dalam (>300 km).

Dampak Gempabumi
Selain menyebabkan kerusakan, peristiwa gempabumi juga menyebabkan dampak lainnya antara lain:
Ground Shaking è Getaran (implification) pada batuan/tanah akibat gelombang gempa. Proses terjadinya tergantung pada kekerasan batuan dan ketebalan sedimen di permukaan, juga tergantung pada energi, jarak, kedalaman episentra.
Surface Faulting è Terjadinya patahan/patahan (sesar-sesar) di permukaan. Sesar ini umumya memajang menunjukkan pola pergerakan gempa. Cakupan wilayahnya meteran hingga puluhan kilometer.
Landslides è Longsoran-longsoran tanah / batuan pada lereng-lereng rentan. Bahaya longsor ini lebih berpotensi pada daerah-daerah yang bertebing. Hindarilah tebing-tebing curam agar tidak tertimpa longsoran apabila muncul gempa susulan.
Liquiefaction è Proses keluarnya air bersamaan butiran-butiran pasir halus, lanau, lempung karena lapisan-lapisan tersebut jenuh air, porositas seragam. Kejadian ini selanjutnya dapat mengakibatkan subsidence.
Tsunami è Tidak semua gempabumi besar menyebabkan tsunami, tetapi banyak juga yang dapat menimbulkan tsunami. Apabila lokasi pusat gempabumi terletak di dasar laut, besar kemungkinan tsunami akan terjadi. Tsunami bisa terjadi setiap saat, siang maupun malam, bisa menjalar melalui muara sungai hingga jauh ke darat maupun menggulung daratan.

C.Indonesia Sebagai Daerah Rawan Gempabumi
Indonesia merupakan salah satu wilayah di dunia yang rawan mengalami peristiwa gempabumi. Hal ini disebabkan oleh posisi geologis Indonesia yang berada pada zona pertemuan tiga lempeng tektonik besar. Santosa (2007) menyebut sebagai triple junction yaitu Lempeng Hindia-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Hindia Australia bertabrakan dengan Lempeng Eurasia di lepas pantai Barat Sumatera, pantai Selatan Jawa, dan Nusa Tenggara kearah Timur. Sedangkan Lempeng Pasifik juga bertumbukan dengan Lempeng Eurasia di Utara Papua dan Maluku Utara.
Disekitar lokasi pertemuan lempeng ini terjadi akumulasi energi tabrakan yang terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi, sehingga akan dilepaskan dalam bentuk gempabumi (Santosa, 2007). Kerak bumi yang membentuk Lempeng Hindia-Australia bergerak kearah Utara dengan kecepatan antara 7-8 cm per tahun. Sedang kerak bumi pasifik bergerak dari arah Timur ke Barat dengan kecepatan ± 10 cm per tahun (Le Pichon, 1968 dalam Santosa, 2007). Kedua lempeng ini dengan arah dan kecepatan yang berbeda bersama-sama menumbuk Lempeng Eurasia sehingga Indonesia merupakan titik pertemuan ketiga lempeng tersebut yang membentuk setengah lingkaran diantaranya ada yang membentang di selatan Pulau Jawa berupa palung laut. Gambar berikut menunjukkan posisi Indonesia sebagai titik puncak pertemuan lempeng.




Gambar 4
Tectonic Setting of Indonesia

Perbenturan lempeng ini tidak hanya menyebabkan pergesekan sepanjang zona subduksi, tetapi juga menyebabkan terjadinya sesar-sesar “transcurrent” yang bergerak mendatar baik pada zona subduksi ataupun pada zona horizontal tersebut. pergerakan kerak bumi menimbulkan akumulasi energi yang pada akhirnya dilepaskan dalam bentuk gelombang yang dirasakan sebagai gempabumi. Apabila pelepasan energi tersebut dalam bentuk panas maka menyebabkan terjadinya letusan gunungapi (Santosa, 2007). Gempabumi sangat terkait erat dengan proses vulkanisme. Subduksi lempeng tektonik selain menyebabkan gempa juga membentuk gunungapi. Sebaliknya, aktivitas vulkanisme juga menyebabkan terjadinya gempa vulkanik. Persebaran episentrum gempabumi di Indonesia menurut USGS (United States Geological Survey) dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 5
Persebaran pusat gempa di Indonesia

D.Kaitan Antar Peristiwa Gempabumi Pada Wilayah Yang Berdekatan.
Sebelum peristiwa gempabumi jawa tahun 2009 ini, gempabumi seakan silih berganti mengguncang berbagai wilayah di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah gempabumi bengkulu tahun 2000, gempabumi dan tsunami aceh tahun 2004, gempabumi DIY-Jateng tahun 2006, serta bebrapa peristiwa gempabumi lainnya seperti yang terjadi di Padang, Kepulauan Mentawai, gempabumi-tsunami Pangandaran, dan sebagainya. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila suatu tempat mengalami peristiwa gempabumi, maka tempat lainnya yang masih merupakan satu kesatuan wilayah tumbukan lempeng akan mendapatkan “giliran” berikutnya. Gempabumi memang tidak dapat diramalkan kapan dan dimana akan terjadinya, akan tetapi dengan memahami teori ini setidaknya kita dapat meningkatkan kesiapsiagaan untuk menekan sekecil mungkin dampak negatif yang diakibatkan oleh peristiwa gempabumi.
Terkait dengan hal ini ada beberapa model yang sudah dikembangkan. Salah satunya adalah model lokomotif segment gempa/slider block model. Prinsipnya adalah pada suatu zona pertemuan lempeng, terdapat blok-blok yang memiliki karakteristik sendiri-sendiri, memiliki kemampuan menahan getaran berbeda, serta mendapatkan pengaruh gaya dengan kekuatan yang berbeda pula.
Blok-blok ini akan bergerak jika ada stress akibat tarikan atau dorongan yang melebihi kemampuan menahan ganjalan dibawahnya. Dalam realitasnya blok ini berhubungan satu sama lain dan masing-masing blok memiliki berat beban yang berbeda-beda serta gaya gesek yang berbeda. Pegas pengaitpun berada dalam kondisi yang tidak seragam ditambah kecepatan tumbukan yang juga tidak sama. Blok ini akan bergeser tidak mengikuti urutan yang sederhana karena masing-masing memiliki sifat yang berbeda dan sangat unik. Oleh karena itu peristiwa gempa yang terjadi di suatu tempat, dan kemudian dipastikan akan “menular” ke tempat lain, tidak terjadi secara urut tetapi acak. Menghadapi kondisi demikian selain pengetahuan juga penting untuk memupuk keisapsiagaan sebagai masyarakat yang hidup dan tinggal di daerah gempabumi.

E.Upaya Mitigasi: Membangun Perilaku Sadar Gempa Untuk Meminimalisir Dampak Gempabumi
Gempabumi adalah suatu peristiwa alam. Kejadiannya hingga saat ini tidak dapat diramalkan, apalagi dicegah dan dihentikan. Yang bisa kita lakukan adalah berbuat bagaimana meminimalisir resiko yang harus dihadapi apabila peristiwa gempabumi tersebut terjadi. Tindakan yang dapat dilakukan adalah mengerti, memahami posisi kita sebagai masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempabumi, membekali dengan pengetahuan yang cukup mengenai gempabumi, kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa kesalahan umum yang ada pada masyarakat kita berkaitan dengan gempa diantaranya:
Tidak adanya pemahaman mengenai bencana gempabumi dan dampak-dampaknya
Kurangnya persiapan terhadap ancaman bencana dan belum adanya siaga bencana untuk penyelamatan
Belum dipatuhinya aturan lokasi keamanan dan standar keselamatan bangunan
Tidak adanya rencana tanggap darurat di semua tingkat (pemerintah dan masyarakat)
Kesalahan-kesalahan umum pada bangunan diantaranya:
Tata ruang kurang memperhatikan kerawanan bencana
Rumah tembok sebagai simbol status
Arsitektoris lebih diutamakan dari keamanan
Prinsip-prinsip bangunan tahan gempa tidak diikuti: yang meliputi struktur tak tahan gempa, pengerjaan tidak baik, pengawasan kurang, pemeliharaan tidak dilakukan, kualitas material kurang baik
Dalam upaya mengurangi dampak bencana di suatu wilayah, tindakan persiapan perlu dilakukan oleh masyarakatnya. Pada saat bencana terjadi, korban jiwa dan kerusakan yang timbul umumnya disebabkan oleh kurangnya persiapan dan sistem peringatan dini. Persiapan yang baik akan bisa membantu masyarakat untuk melakukan tindakan yang tepat guna dan tepat waktu. Bencana bisa menyebabkan kerusakan fasilitas umum, harta benda dan korban jiwa. Dengan mengetahui cara pencegahannya masyarakat bisa mengurangi resiko ini.

Tindakan Kesiapsiagaan
Merencanakan kesiapsiagaan terhadap bencana tidak hanya mencakup perencanaan fisik bangunan saja. Setiap orang dalam rumah sebaiknya tahu apa yang harus dilakukan dan ke mana harus pergi bila situasi darurat terjadi.
Prinsip rencana siaga untuk rumah tangga:
Rencana darurat rumah tangga dibuat sederhana sehingga mudah diingat oleh seluruh anggota keluarga. Bencana adalah situasi yang sangat mencekam sehingga mudah mencetus kebingungan. Rencana darurat yang baik hanya berisi beberapa rincian saja yang mudah dilaksanakan
Tentukan jalan melarikan diri: Pastikan kita dan keluarga tahu jalan yang paling aman untuk keluar dari rumah saat gempa. Apabila berencana meninggalkan daerah atau desa, rencanakan beberapa jalan dengan memperhitungkan kemungkinan beberapa jalan yang putus atau tertutup akibat gempa
Tentukan tempat bertemu:
Dalam keadaan anggota keluarga terpencar, misalnya ibu di rumah, ayah di tempat kerja, sementara anak-anak di sekolah saat gempa terjadi, tentukan tempat bertemu. Yang pertama semestinya lokasi yang aman dan dekat rumah. Tempat ini biasanya menjadi tempat anggota keluarga bertemu pada keadaan darurat. Tempat kedua dapat berupa bangunan atau taman di luar desa, digunakan dalam keadaan anggota keluarga tidak bisa kembali ke rumah. Setiap orang mestinya tahu tempat tersebut.
Prinsip rencana siaga untuk sekolah
Sama dengan prinsip rencana siaga di rumah tangga. Gedung sekolah perlu diperiksa ketahanannya terhadap gempabumi. Sebaiknya sekolah dibangun berdasarkan standar bangunan tahan gempa. Siswa perlu sering dilatih untuk melakukan tindakan penyelamatan diri bila terjadi gempa, misalnya sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun.

Tindakan saat terjadi gempabumi
Bila kita berada dalam bangunan, cari tempat perlindungan, misalnya di bawah meja yang kuat. Hindari jendela dan bagian rumah yang terbuat dari kaca. Gunakan bangku, meja atau perlengkapan rumah tangga yang kuat sebagai perlindungan. Tetap di sana namun bersiap untuk pindah. Tunggu sampai goncangan berhenti dan aman untuk bergerak. Menjauhlah dari jendela kaca, perapian, kompor atau peralatan rumah tangga yang mungkin akan jatuh. Tetap di dalam untuk menghindari terkena pecahan kaca atau bagian-bagian bangunan.
Jika malam hari dan berada di tempat tidur, jangan lari keluar. Cari tempat yang aman di bawah tempat tidur atau meja yang kuat dan tunggu gempa berhenti. Jika gempa sudah berhenti cari tempat yang aman. Ada baiknya kita mempunyai lampu senter dekat tempat tidur. Saat gempa malam hari, alat murah ini sangat berguna untuk menerangi jalan mencari tempat aman, terutama bila listrik padam. Lilin dan lampu gas sangat berbahaya, dan sebaiknya tidak digunakan.
Jika kita berada di tengah keramaian, cari perlindungan. Tetap tenang dan mintalah yang lain untuk tenang. Jika sudah aman, berpindahlah ke tempat yang terbuka, jauh dari pepohonan besar atau bangunan. Jika kita berada di luar, cari tempat terbuka, jauh dari bangunan, pohon tinggi dan jaringan listrik. Hindari rekahan akibat gempa yang bisa sangat berbahaya. Jika kita sedang mengemudi, berhentilah jika aman, tapi tetap dalam mobil. Menjauhlah dari jembatan, jembatan layang atau terowongan. Pindahkan mobil jauh dari lalu lintas. Jangan berhenti dekat pohon tinggi, lampu lalu lintas atau tiang listrik. Jika kita berada di pegunungan, dekat dengan lereng atau jurang yang rapuh, waspadalah dengan batu atau tanah longsor yang runtuh akibat gempa. Jika berada di pantai, segeralah berpindah ke daerah yang tinggi atau berjarak beberapa ratus meter dari pantai.

Tindakan setelah gempabumi berlangsung
Periksa adanya luka. Setelah menolong diri, bantu menolong mereka yang terluka atau terjebak. Hubungi petugas yang menangani bencana, kemudian berikan pertolongan pertama jika memungkinkan. Periksa hal-hal berikut setelah gempa: Api atau ancaman kebakaran, kebocoran gas, kerusakan saluran listrik, Kerusakan kabel listrik.
Waspada dengan gempa susulan. Sebagian besar gempa susulan lebih lemah dari gempa utama. Namun, beberapa dapat cukup kuat untuk merobohkan bangunan yang sudah goyah akibat gempa pertama. Tetaplah berada jauh dari bangunan. Kembali ke rumah hanya bila pihak berwenang sudah mengumumkan keadaan aman.
Pada dasarnya, manusia pasti memahami situasi dan kondisi lingkungan dimana dia hidup. Nenek moyang kita juga telah memiliki naluri untuk mempertahankan diri apabila terjadi gempabumi, kemampuan semacam ini sering kita kenal sebagai kearifan lokal masyarakat. Hal ini perlu ditingkatkan dan diajarkan karena kearifan lokal juga merupakan suatu tindakan mitigasi, bahkan lebih kontekstual karena secara spesifik melibatkan sosial masyarakat serta bentang alam yang ada pada suatu wilayah. Kearifan lokal dewasa ini seringkali mulai ditinggalkan, hal semacam inilah yang membuat masyarakat seakan tidak siap menghadapi resiko bencana yang memang dapat terjadi sewaktu-waktu. Pengetahuan yang cukup ditambah dengan pengembangan kearifan lokal sangat penting untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi bencana.

F.Penutup
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki resiko bencana sangat tinggi. Salah satu bencana alam yang banyak terjadi di Indonesia adalah gempabumi. Peristiwa gempabumi yang telah terjadi di beberapa daerah ternyata banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda.
Berkaitan dengan hal tersebut, kita sebagai masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana alam gempabumi, dituntut untuk memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gempabumi, dan tindakan mitigasinya. Seringkali dikatakan bangsa indonesia tidur bersama musuh (sleeping with the enemy), dan hanya dengan pemahaman mengenai “musuh” tersebut maka kita dapat menekan sekecil mungkin resiko yang terjadi, mengingat gempabumi merupakan suatu peristiwa yang hingga saat ini tidak dapat diramalkan apalagi dicegah.
Selama ini kita seringkali tidak menyadari posisi dan resiko yang harus dihadapi oleh kedudukan kita yang berada di Kepulauan Indonesia ini. Sehari-hari, bahkan setiap menit dan detik kita selalu dihadapkan pada resiko gempa, akan tetapi kebanyakan masih kurang membekali diri dengan pengetahuan mengenai gempa itu sendiri. Baru apabila peristiwa gempabumi terjadi, saat itu kita dihadapkan pada kesulitan untuk menghadapi peristiwa tersebut dan akhirnya tidak bisa menghindarkan dari resiko yang cenderung merugikan.
Suatu contoh kasus adalah peristiwa yang terjadi pada gempabumi Yogyakarta (DIY-Jateng) tahun 2006. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai gempabumi dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menyebarkan berbagai isu berkaitan dengan peristiwa gempa tersebut. Isu ini diantaranya adalah peristiwa tsunami dan daratan yang akan runtuh menyatu dengan laut selatan. Isu ini direspon oleh masyarakat apa adanya tanpa bekal pengetahuan yang cukup, akibatnya terjadilah kepanikan, chaos, yang membuat semua orang perlu menyelamatkan dirinya masing-masing. Dampak yang terjadi kemudian adalah kecelakaan lalu-lintas dan penjarahan harta benda.
Peristiwa tersebut tentunya tidak perlu terjadi apabila kita membekali diri dengan pengetahuan yang cukup mengenai gempa. Dan yang tidak kalah penting tentunya adalah kesiapsiagaan dan adaptasi hidup di daerah rawan gempa sehingga apabila peristiwa gempabumi benar-benar terjadi kita dapat menekan sekecil mungkin resiko yang akan dihadapi.
Akan tetapi kita tidak boleh selamanya memandang gempa sebagai musuh. Gempabumi dan peristiwa geologis lainnya pada dasarnya juga merupakan anugerah, karena dari peristiwa tersebut, bumi kita terus bergerak, dinamis, segala macam kandungan mineral dalam bumi yang dibutuhkan oleh kehidupan akan keluar melalui gempabumi dan aktivitas gunungapi. Seorang ahli mengatakan, tanpa adanya peristiwa tektonik dan vulkanik bumi kita ibarat barang rongsokan yang telah habis dipakai fungsinya sehingga tidak bernilai lagi karena kehilangan fungsi itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Allison, Ira S. et al. 1960. Geology: Principles And Processes. New York: Mc Graw-Hill.
Don, L dan Leet, Florence. 2006. Gempabumi, Penjelasan Ilmiah Dan Sederhana, Proses, Tanda-tanda Akan Terjadinya, Serta Antisipasi Dampak. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
IAGI. Tanpa Tahun. Tanya Jawab Gempa 27 Mei 2006 Di Yogyakarta-Jateng. Yogyakarta: Makalah
IDEP. 2007. Panduan Umum Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat, Edisi Kedua. Ubud: Yayasan IDEP
John A. Katili. 1980. Geotectonics Of Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pertambangan.
Langgeng Wahyu Santosa. 2006. Tinjauan Geomorfologi Terhadap Gempabumi Di Yogyakarta Dan Sekitarnya 27 Mei 2006. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Makalah.
Soetoto. Tanpa Tahun. Seputar Gempabumi. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Sudibyakto. 2000. Kajian Dan Mitigasi Bencana Gempabumi: Studi Kasus Bencana Gempabumi Bengkulu 4 Juni 2000. dalam Majalah Geografi Indonesia. Vol. 14 No. 2 September 2000.
Sudibyakto. 2007. Potensi Bencana Alam Dan Kesiapan Masyarakat Menghadapi Bencana (preparedness for Vulnerable Communities). Pengantar Diskusi Bulanan. Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) Universitas Gadjah Mada. 4 Oktober 2007.
Tiar Prasetya (ed). 2006. Gempabumi, Ciri Dan Cara Menanggulanginya. Yogyakarta: Gita Nagari.
Wahyu Triyoso, Nanang T. Puspito, Gunawan Ibrahim. 1994. Aspek Studi Zonasi Gempabumi Dalam Kaitannya Dengan Mitigasi Bahaya Gempabumi Di Indonesia. Makalah Penunjang No. 3. Disampaikan dalam Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam, Universitas Gadjah Mada, 16-17 Septermber 1994.
PENGARUH EROSI PERMUKAAN TERHADAP KEHILANGAN KARBON ORGANIK DI SUB-DAERAH ALIRAN SUNGAI OPAK

Oleh:
Arif Ashari dan Fahad Nuraini

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis hubungan antara erosi permukaan dengan kehilangan karbon organik di Sub-DAS Opak (2) menganalisis besar kehilangan karbon organik tahunan akibat erosi permukaan di Sub-DAS Opak (3) menganalisis tindakan konservasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi kehilangan karbon organik akibat erosi permukaan di Sub-DAS Opak.
Penelitian ini menggunakan metode eksploratif survei dengan menggunakan variasi kondisi tinggi muka air sebagai dasar pengambilan sampel. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposif sampling, yaitu pada setiap klasifikasi ketinggian muka air dengan lokasi pengambilan pada stasiun AWLR di outlet Sub-DAS Opak. Analisis yang digunakan adalah kombinasi antara analisis kuantitatif dan analisis kualitatif, yaitu dengan analisis laboratorium, analisis statistik, dan analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan (1) hubungan antara erosi permukaan dan kehilangan karbon organik di Sub-DAS Opak bersifat linier. Setiap terjadi peningkatan erosi diikuti oleh peningkatan besar kehilangan karbon organik dengan perbedaan yang tidak mencolok. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi Sub-DAS Opak antara lain meliputi geomorfologi, geologi, klimatologi dan penggunaan lahan. (2) kehilangan karbon organik di Sub-DAS Opak sebesar 55.538,95 ton, atau setara dengan 1,05 ton/ha/tahun. (3) tindakan konservasi yang dapat dilakukan adalah melakukan pencegahan erosi dengan cara vegetatif dan mekanik serta penghijauan lahan sawah dan pergiliran tanaman untuk meningkatkan input karbon organik ke dalam tanah.
Kata Kunci: Erosi Permukaan, Karbon Organik Tanah

PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah ekosistem yang dibatasi oleh igir-igir punggung bukit dan berfungsi sebagai pengumpul, penyimpan, dan penyalur air, sedimen, serta unsur-unsur hara dari sistem sungai keluar wilayah tersebut melalui satu titik tunggal (Gunawan, 1998). Sebagai suatu sistem, dalam DAS terdapat masukan, proses, dan keluaran. Masukan berupa hujan, radiasi, teknologi, sumberdaya manusia. Proses yang terjadi berupa proses fisika, biologi, maupun kimia yang meliputi penguapan, infiltrasi, erosi, longsor, pelapukan, pengangkutan dan pengendapan sedimen, aliran energi, serta dinamika penduduk. Keluaran berupa hasil air, hasil sedimen, unsur hara dan kimia yang terangkut oleh aliran sungai, dan hasil dalam pengelolaan lahan oleh manusia (Haeruman, 1994 dalam Hamidin, 2008).
Aliran karbon organik merupakan salah satu bentuk proses yang terjadi dalam DAS. Aliran ini dipengaruhi oleh erosi permukaan. Erosi merupakan peristiwa pengangkutan sedimen dimana dalam sedimen terangkut tersebut terdapat kandungan karbon organik. Hasil erosi kemudian masuk ke saluran sungai dan menjadi muatan tersuspensi (suspended load) dan terbawa hingga ke laut melalui outlet DAS. Proses ini merupakan bagian dari sirkulasi karbon global, dan merupakan salah satu bentuk siklus energi, dimana sirkulasi karbon global merupakan gejala alam yang penting dalam menjaga keseimbangan sistem kehidupan di bumi.
Tanah memiliki peranan penting dalam sirkulasi karbon global yaitu sebagai simpanan (sequestration) karbon, dengan kapasitas yang cukup besar. Jumlah karbon yang tersimpan di daratan yaitu pada tanah dan vegetasi sekitar 3,5 kali lebih besar dari jumlah karbon yang ada di atmosfer (Hairiah, 2007). Karbon tersimpan dalam tanah dalam bentuk organik dan inorganik. Karbon organik masuk ke dalam tanah melalui proses fotosintesis tumbuhan. Ketika tumbuhan menggugurkan daunnya atau mati, terjadi pembusukan dan material organik ditambahkan ke dalam tanah. Aktivitas hewan tanah (khususnya jamur dan mikroba) menggerakkan beberapa substrat dan memindahkan yang lain ke kandungan organik lainnya (Trumbore dan Torn, 2003).
Daerah Aliran Sungai (DAS) Opak merupakan sistem sungai yang sangat penting bagi tata kehidupan yang ada didalamnya. DAS Opak terbagi menjadi Sub-DAS Opak dan Sub-DAS Oyo. Dewasa ini Sub-DAS Opak banyak mengalami permasalahan timbulnya lahan kritis yang disebabkan oleh erosi aliran permukaan. Pada tahun 2007 lahan kritis mencapai 9.658 ha atau 19 % dari luas keseluruhan Sub-DAS 50.752,2ha yang disebabkan oleh penggunaan lahan untuk permukiman, tegalan/ladang, kebun campuran, lahan terbuka, sawah, pada lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya (Ismail, 2007). Kondisi ini menyebabkan banyak kehilangan karbon organik tanah bersama dengan erosi, sehingga mengganggu siklus karbon serta menurunkan kualitas tanah untuk berfungsi secara baik dalam mendukung kehidupan.

TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah:
1.Menganalisis hubungan antara erosi permukaan dengan kehilangan karbon organik di Sub-DAS Opak.
2.Menganalisis besar kehilangan karbon organik tahunan akibat erosi permukaan di Sub-DAS Opak.
3.Menganalisis tindakan konservasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi kehilangan karbon organik akibat erosi permukaan di Sub-DAS Opak.

METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan yang digunakan dalam analisis karbon dalam muatan suspensi, yaitu K2Cr2O7 1N, H 2SO4 pekat (tidak kurang dari 96%), H3PO4 (85%), Diphenyl amine, dan FeSO4 1N. Sedangkan alat yang digunakan meliputi alat pengukuran lapangan, dan alat laboratorium. Alat pengukuran lapangan terdiri atas GPS, Suspended Sampler tipe DH 48 untuk mengambil sampel muatan suspensi, botol plastik untuk menyimpan sampel, dan alat tulis. Sedangkan alat laboratorium terdiri atas alat analisis material organik meliputi timbangan, labu takar, gelas ukur, pipet. Serta seperangkat komputer dengan perangkat Microsoft Excel 2007 untuk analisis statistik regresi serta Arc View versi 3.3 dan ENVI 4.3 untuk pembuatan peta.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksploratif survei, dimana dalam objek penelitian ini telah terdapat beberapa petunjuk yang mengindikasikan adanya permasalahan dan perlu dikembangkan lebih jauh. Terkait dengan populasinya penelitian ini dilakukan dengan sampling, adapun metode pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposif sampling. Sampel yang diambil berupa muatan suspensi sungai. Pengambilan sampel dilakukan pada setiap ketinggian muka air dengan lokasi di Stasiun AWLR pada outlet Sub-DAS Opak. Analisis yang digunakan adalah kombinasi antara analisis kuantitatif dan analisis kualitatif, yang meliputi analisis laboratorium, analisis statistik dan analisis deskriptif.
Kehilangan karbon organik tanah di Sub-DAS Opak oleh erosi permukaan akan dijumpai sebagai muatan suspensi dan terbawa keluar dari DAS sebagai debit pada saluran sungai. Sehingga untuk mengetahui bagaimana hubungan antara proses erosi yang terjadi dengan kehilangan karbon organik serta jumlah total kehilangan karbon organik dari Sub-DAS Opak perlu dilakukan analisis kandungan karbon organik dalam muatan suspensi. Pengambilan dilakukan pada setiap tinggi muka air dimaksudkan untuk mendapatkan sampel pada setiap kondisi erosi yang disebabkan oleh aliran permukaan, dengan asumsi peningkatan tinggi muka air pada stasiun pengamatan menunjukkan peningkatan erosi oleh aliran permukaan yang terjadi pada Sub-DAS Opak.
Langkah penelitian terdiri atas tiga tahap yaitu tahap pra lapangan, tahap lapangan, dan tahap pasca lapangan. Pada tahap pra lapangan dilakukan studi pustaka, melakukan orientasi lapangan untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian, mempersiapkan bahan dan alat untuk penelitian, membuat peta tentatif, membuat batas DAS, serta menentukan titik pengambilan sampel di lapangan. Pada tahap lapangan dilakukan pengambilan sampel di lokasi penelitian untuk analisis laboratorium, mengambil data-data sekunder terutama yang berkaitan dengan kondisi fisik daerah penelitian, data debit aliran dan tinggi muka air. pengambilan sampel dilakukan dengan cara point integrating pada setiap tinggi muka air karena cara depth integrating tidak memungkinkan untuk dilakukan. Pada tahap pasca lapangan dilakukan analisis laboratorium terhadap sampel sedimen muatan suspensi untuk mengetahui kandungan karbon dalam tanah.

DAERAH PENELITIAN
DAS Opak terbagi menjadi dua Sub-DAS yaitu Sub-DAS Opak dan Sub-DAS Oyo. Sub-DAS Opak terletak antara 9.114.320 MU – 9.166.320 MU dan 418.875 MT – 452.439 MT pada koordinat UTM. Secara administratif berada pada wilayah Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta (DIY) serta kabupaten Klaten (Jawa Tengah). Luas Sub-DAS Opak 52.995 ha. Secara geologi Sub-DAS Opak sebagian besar tersusun oleh formasi dengan usia kuarter yaitu Aluvium, Endapan Gunungapi Merapi Tua, Endapan Gunungapi Merapi Muda, Formasi Nglanggran, Formasi Semilir, dan Formasi Wonosari. Secara geomorfologi tersusun atas bentuklahan kerucut gunungapi, lereng gunungapi, dataran fluvio-vulkanik, pegunungan sinklinal, perbukitan sinklinal, gawir sesar, perbukitan terisolasi, beting gisik dan gumuk pantai (Ashari, 2010).
Jenis tanah di Sub-DAS Opak antara lain aluvial, grumusol, kambisol, latosol, litosol, regosol. Adapun tipe iklim cukup bervariasi yaitu meliputi tipe iklim C (Agak Basah), D (Sedang), dan E (Agak Kering). Secara hidrologi Sub-DAS Opak memiliki aliran yuang bersifat perenial dengan tipe aliran radial. Secara geohidrologi Sub-DAS Opak merupakan daerah dengan potensi air tanah yang baik. Penggunaan lahan Sub-DAS Opak bervariasi meliputi permukiman, sawah, tegalan, kebun campuran, semak belukar, hutan, dan laguna (Ashari, 2010). Daerah penelitian ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1. Peta Sub-DAS Opak

HASIL PENELITIAN
Untuk mengetahui hubungan antara erosi permukaan dengan kehilangan karbon organik yang terjadi di Sub-DAS Opak perlu dibuat karbon organik rating curve, yaitu hubungan antara tinggi muka air (mm) yang mengindikasikan tingkat erosi oleh aliran permukaan yang terjadi dengan debit karbon (mg/l) yang menunjukkan besar kandungan karbon organik dalam muatan suspensi hasil erosi permukaan tersebut. Karbon organik rating curve disusun dengan menggunakan analisis regresi linear, dengan menggunakan data yang diperoleh dalam pengukuran dan pengambilan sampel di Stasiun Karangsemut seperti ditunjukkan oleh Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengukuran tinggi muka air dan analisis sampel karbon organik
Sub-DAS Opak di Stasiun Karangsemut

Tinggi Muka Air (cm)
Suspended Load (mg/l)
Kandungan Karbon Organik


(mg/l)
(%)
15
70
3.55
7.56
88
215
11.54
8.07
110
255
20.35
9.60
175
270
28.48
10.55
200
300
35.46
11.82
Sumber: Hasil Analisis

Berdasarkan data dalam Tabel 1 dapat disusun koefisien regresi dengan menggunakan operasi perhitungan statistik regresi linier. Untuk itu terlebih dahulu dibuat tabel untuk analisis regresi linier yang ditunjukkan oleh Tabel 2.

Tabel 2. Data Untuk Analisis Regresi Variabilitas Karbon Organik di Sub-DAS Opak
No
x
Tinggi Muka Air
Y
Debit Karbon Organik
1
15
3.55
2
88
11.54
3
110
20.35
4
175
28.48
5
200
35.46
∑x 560
∑y 99.38
Sumber: Hasil Analisis

Persamaan regresi yang diperoleh:
y = -0,566 + 0,182x, dengan r2 = 0,935
Sehingga nilai y (debit karbon organik) akan diperoleh sebesar -0,566 + 0,182 kali nilai x (tinggi muka air). Selanjutnya disusun karbon organik rating curve seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.


Gambar 2. Hubungan Antara Tinggi Muka Air Dengan Debit Karbon Organik
Sub-DAS Opak
Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 2 diketahui hubungan antara erosi permukaan dengan kehilangan karbon organik yang terjadi di Sub-DAS Opak bersifat linier, hal ini ditunjukkan setiap terjadi penambahan tinggi muka air diikuti dengan penambahan besarnya debit karbon organik dengan perbedaan yang tidak mencolok. Setiap terjadi peningkatan besar erosi permukaan maka diikuti oleh peningkatan besar kehilangan karbon organik. selain itu berdasarkan koefisien determinasi pada analisis regresi juga dapat diketahui erosi permukaan berpengaruh signifikan terhadap kehilangan karbon organik yaitu sebesar 0,935. Dengan demikian dapat diketahui kehilangan karbon organik di Sub-DAS Opak 93,5% disebabkan oleh erosi permukaan 6,5% disebabkan oleh faktor lainnya.
Besar kehilangan karbon organik tahunan akibat erosi permukaan di Sub-DAS Opak menunjukkan total dari rerata kehilangan karbon organik bulanan yang terjadi di Sub-DAS Opak dalam satu tahun. Rerata kehilangan karbon organik bulanan dapat diprediksi dengan menggunakan persamaan yang diperoleh dalam analisis regresi yaitu y= -0,566 + 0,182x terhadap data rerata tinggi muka air bulanan Sub-DAS Opak tahun 1999-2003. Besarnya kehilangan karbon organik (y) atau dinyatakan dalam debit karbon organik akan diperoleh sebesar -0,566 + 0,182 kali nilai tinggi muka air (x). Dengan asumsi debit tidak dapat negatif maka analisis dilakukan hanya dengan menggunakan nilai b pada persamaan y=a+bx tersebut. Hasil analisis ditunjukkan oleh Tabel 3.
Tabel 3. Rerata debit karbon organik bulanan Sub-DAS Opak

Bulan
Tinggi muka air (cm)
Debit karbon organik (mg/l)
Januari
123.77
29.557
Februari
160.83
36.291
Maret
177.69
36.4
April
156.58
34.984
Mei
67.54
14.16
Juni
46.25
6.799
Juli
28.24
5.212
Agustus
22.25
3.833
September
13.47
2.1
Oktober
29.84
4.950
November
67.04
10.367
Desember
92.60
15.208
Sumber: Hasil Analisis

Berdasarkan data dalam Tabel 3 dapat disusun kurva yang menunjukkan kehilangan karbon organik bulanan Sub-DAS Opak dalam satu tahun. Jumlah total kehilangan karbon organik tahunan dapat diperoleh dengan penjumlahan besar debit karbon organik setiap bulan, dalam hal ini dilakukan dengan menghitung luas daerah yang berada di bawah kurva kehilangan karbon organik bulanan tersebut. Kurva kehilangan karbon organik Sub-DAS Opak ditunjukkan oleh Gambar 3.


Gambar 3. Kurva Kehilangan Karbon Organik Sub-DAS Opak

Untuk mengetahui luas daerah yang dibatasi oleh kurva terlebih dahulu dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yang berbentuk persegi panjang dan segitiga dapat dihitung langsung dengan menggunakan persamaan untuk mengetahui luas persegi panjang (panjang x lebar) dan segitiga (½ alas x tinggi). Bagian lain yang berbentuk parabola dihitung dengan menggunakan cara integral tentu. Cara ini dilakukan dengan konsep Integral Reiman yaitu metode potong, hampiri, dan integralkan/metode polygon. Luas daerah parabola yang merepresentasikan total kehilangan karbon organik dihitung dengan menggunakan persamaan:
L=abf x dx
Luas daerah di bawah kurva dihitung sebagai berikut:
1.Luas 1 = luas daerah persegi panjang + luas daerah segitiga
= (2 x 29) + (1/2 x 2 x 5)
= 58 + 5 = 63 satuan
2.Luas 2
Luas daerah 2 dihitung dengan menggunakan integral tentu, yaitu dengan persamaan:
L=abf x dx
Dengan f (x) = fungsi kuadrat dari parabola
untuk mengoperasikan persamaan integral tentu terlebih dahulu dicari fungsi kuadrat dari parabola yang akan dihitung dengan integral, sebagai berikut:
y = f = a(x-P)2 + Q
f = a (x – 8)2 + 1
35 = a (3 – 8)2 + 1
34 = a (25)
a = 2534
selanjutnya dihitung luas wilayah dengan menggunakan integral, sebagai berikut:
3122534 x-82+ 1dx
=25 (x-8)3102+ x ]212
=1600102+12- (-3125102+3)
=4725102+(12-3)
= 46,32 + 9
= 55,3 satuan
Luas total = 63 + 55,3 = 118,3 satuan. Satuan dinyatakan dalam mg/l.

Nilai hasil perhitungan masih dinyatakan dalam satuan mg/l, sehingga nilai tersebut masih menunjukkan total kehilangan karbon organik untuk setiap liter debit di Sub-DAS Opak. Untuk memperoleh nilai total seluruh karbon organik yang hilang dalam satu tahun, nilai hasil perhitungan tersebut perlu dikalikan dengan besarnya debit yang terjadi selama satu tahun (liter), yaitu 118,3 mg/l x 46.947.548.160 liter = 55.538,95 ton. Jumlah tersebut diperoleh dari seluruh Sub-DAS Opak seluas 52.995 sehingga besar kehilangan karbon organik setara dengan 1,05 ton/ha/tahun.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian diketahui hubungan antara erosi permukaan dengan kehilangan karbon organik di Sub-DAS Opak bersifat linear, hal ini menunjukkan setiap terjadi peningkatan besar erosi diikuti oleh peningkatan kehilangan karbon organik dengan perbedaan yang tidak mencolok. Demikian juga dengan kehilangan karbon organik bulanan yang banyak dipengaruhi oleh kondisi erosi permukaan yang terjadi. Sub-DAS Opak secara potensial sebagian besar wilayahnya memiliki laju erosi yang cukup besar yaitu…
Secara klimatologis, Sub-DAS Opak merupakan wilayah dengan curah hujan yang relatif tinggi. Curah hujan ini menghasilkan tipe iklim yang bervariasi dari agak basah hingga sedang, serta hanya sebagian kecil wilayah yang agak kering. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan desember hingga mencapai 529 mm. Tingginya curah hujan menghasilkan banyak aliran permukaan sehingga memungkinkan terjadinya erosi lebih besar dan mengakibatkan terjadinya kehilangan karbon organik. Curah hujan tinggi didukung oleh kondisi geomorfologi dan geologi.
Secara geomorfologi Sub-DAS Opak didominasi oleh bentuklahan vulkanik dengan persentase kemiringan relatif rendah, sedangkan secara geologi Sub-DAS Opak tersusun dari formasi batuan yang dapat berperan sebagai akuifer yang baik (Sutikno dkk, 2002; Sutikno dkk, 2007) sehingga curah hujan tinggi tidak seluruhnya menjadi aliran permukaan tetapi tersimpan dalam DAS kemudian dilepaskan sebagai aliran permukaan sepanjang tahun. Kondisi ini memungkinkan proses erosi oleh aliran permukaan terus terjadi sehingga mengakibatkan kehilangan karbon organik dengan perbedaan yang tidak mencolok. Hal ini memungkinkan terjadinya karakteristik kehilangan karbon organik yang bersifat linear dengan besarnya erosi yang terjadi.
Ashari (2010) dalam penelitiannya menunjukkan karakteristik hubungan antara erosi dengan kehilangan karbon organik di Sub-DAS Oyo, DAS Opak bersifat eksponensial. Hal ini ditandai oleh perbedaan kehilangan karbon organik yang mencolok untuk setiap besar erosi. Mula-mula terjadi peningkatan kecil kemudian meningkat secara signifikan pada saat besar erosi maksimal oleh aliran permukaan. Kondisi tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi di Sub-DAS Oyo yang berbeda dengan Sub-DAS Opak baik secara klimatologi, geomorfologi, maupun geologinya.
Kehilangan karbon organik tahunan di Sub-DAS Opak sebesar 55.538,95 ton, atau setara dengan 1,05 ton/ha/tahun dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain besarnya erosi di Sub-DAS Opak, perubahan bentuk penggunaan lahan, dan penggunaan lahan sawah yang mendominasi bentuk penggunaan lahan di Sub-DAS Opak. Besarnya erosi permukaan yang terjadi di Sub-DAS Opak sangat berpengaruh terhadap kehilangan karbon organik. Hal ini ditunjukkan oleh karakteristik hubungan antara erosi dengan kehilangan karbon organik yang bersifat linear, sehingga apabila terjadi peningkatan erosi maka terjadi pula peningkatan kehilangan karbon organik. Erosi permukaan sendiri antara lain dipengaruhi oleh kondisi klimatologi khususnya hujan yang terjadi dalam kurun waktu satu tahun.
Perubahan penggunaan lahan juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kehilangan karbon organik. Sub-DAS Opak hingga tahun 2007 banyak mengalami perubahan bentuk penggunaan lahan untuk permukiman, tegalan/ladang, kebun campuran, lahan terbuka, sawah dimana perubahan bentuk penggunaan lahan tersebut tidak dilakukan dengan memperhatikan kemampuan lahan sehingga menyebabkan terjadinya lahan kritis (Ismail, 2007). Penggunaan lahan semestinya harus didasarkan pada kemampuan lahannya karena hal ini berpengaruh terhadap keseimbangan sirkulasi karbon. Pada suatu kasus, wilayah yang semestinya dimanfaatkan sebagai hutan apabila dikonversi menjadi bentuk penggunaan lahan yang lain akan menurunkan kapasitas input karbon organik ke dalam tanah sekaligus menyebabkan kehilangan karbon organik akibat erosi. Hal ini akan semakin buruk apabila manajemen penggunaan lahan kurang baik sehingga menimbulkan lahan kritis. Pada umumnya apabila lahan semakin terbuka dan menuju kearah kerusakan lahan maka kandungan karbon organik tanah akan semakin menurun (Lal, 2004; Yusheng dkk, 2008). Dalam wilayah Sub-DAS Opak terdapat daerah urban yang terus berkembang dan memacu perubahan bentuk penggunaan lahan daerah sekitarnya, perubahan penggunaan lahan menjadi daerah urban akan menurunkan input karbon organik ke dalam tanah, sedangkan di sisi lain terjadi erosi akibat tingginya aliran permukaan. Daerah urban memiliki kerapatan karbon paling rendah dibanding penggunaan lahan lainnya (Eaton dkk, 2008).
Faktor lain yang berpengaruh terhadap kehilangan karbon organik di Sub-DAS Opak adalah penggunaan lahan sawah. Penggunaan lahan ini meliputi sebagian besar wilayah Sub-DAS Opak. Dampaknya terhadap kehilangan karbon organik antara lain disebabkan oleh karakteristik pertanian sawah yang sepanjang tahun selalu dialiri irigasi, hal ini menyebabkan peluang lebih besar untuk terjadi kehilangan karbon organik akibat erosi. Penggunaan lahan sawah pada dasarnya merupakan bentuk penggunaan lahan dengan kadar karbon organik paling rendah (Rahayu dkk, 2008).
Tindakan konservasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi besar kehilangan karbon organik akibat erosi antara lain: (1) mengurangi laju erosi permukaan antara lain dapat dilakukan dengan metode vegetatif, mekanik, maupun kimia (Arsyad, 2000). (2) meningkatkan kapasitas input karbon organik ke dalam tanah, antara lain dapat dilakukan dengan pengembangan dan pengelolaan hutan sebagai sumber input karbon organik ke dalam tanah, pennghijauan lahan pertanian, serta melakukan sistem pertanian dengan pergiliran tanaman. Penghijauan lahan pertanian dapat berperan untuk mengisi kembali karbon organik yang hilang selama pengolahan lahan untuk pertanian (Post dan Kwon, 2000). Pergiliran tanaman juga dapat meningkatkan input karbon organik ke dalam tanah. Pada suatu kasus lahan yang ditanami jagung sepanjang tahun tanpa perlakuan khusus memiliki kandungan karbon organik 1,74%, dengan pergiliran jagung-gandum meningkat menjadi 2,14%, kemudian jagung-gandum-semanggi meningkat menjadi 2,28% (Al Kaisi, 2008). Pergiliran tanaman sesuai untuk Sub-DAS Opak yang sebagian besar lahannya masih dimanfaatkan untuk pertanian sawah.

KESIMPULAN
Erosi permukaan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kehilangan karbon organik dalam tanah. Pada dasarnya erosi adalah salah satu bagian penting dalam sirkulasi karbon global, akan tetapi erosi yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan banyak kehilangan karbon organik yang keluar dari DAS tanpa dapat diimbangi oleh input karbon organik ke dalam DAS juga merupakan bentuk gangguan bagi keseimbangan sirkulasi karbon global sendiri. Selain itu dari sudut pandang lahan, kehilangan karbon organik menyebabkan penurunan kualitas tanah untuk dapat berfungsi dengan baik dalam mendukung kehidupan.
Sub-DAS Opak memiliki karakteristik hubungan antara erosi dengan kehilangan karbon organik yang linear, artinya dalam setiap peningkatan erosi terjadi peningkatan kehilangan karbon organik dengan perbedaan yang tidak mencolok. Kehilangan karbon organik akibat erosi dalam satu tahun di Sub-DAS Opak sebesar 55.538,95 ton, atau setara dengan 1,05 ton/ha/tahun, yang diakibatkan oleh besarnya erosi potensial, perubahan bentuk penggunaan lahan, dan penggunaan lahan sawah tanpa ada pergiliran tanaman. Tindakan konservasi yang dapat dilakukan antara lain mengurangi laju erosi dengan cara vegetatif dan mekanik, dan meningkatkan kapasitas input karbon organik ke dalam tanah dengan penghijauan dan pergiliran tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Kaisi, Mahdi. 2008. Impact of Tillage and Crop Rotation Systems on Soin Carbon Sequestration. Department of Agronomy, Iowa State University.

Arsyad, Sitanala. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: Penerbit IPB.

Ashari, Arif. 2010. Kehilangan Karbon Organik Oleh Aliran Permukaan di Daerah Aliran Sungai Opak Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Ashari, Arif. 2010. Kehilangan Karbon Organik Oleh Aliran Permukaan di Daerah Aliran Sungai Opak Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Naskah Publikasi. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Eaton, James., McGoff, Nicola., Byrne, Kenneth., Leahy, Paul., dan Kiely, Ger. 2008 Land Cover Change and Organic Carbon Stocks in the Republic of Ireland 1851 – 2000. Climatic Change 91: 317 – 334.
Gunawan, Totok. 1998. Ekologi dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Makalah pada pelatihan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu segara anakan angkatan II. Dirjen Bangda Depdagri.

Hamidin, J. 2008. Pembuatan Sistem Pengelolaan Lahan DAS Berbasis Integrasi Kemampuan Lahan dan Daya Dukung Wilayah di Daerah Aliran Sungai (Otomasi Sistem) (Studi kasus Sub-DAS Opak). Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Hairiah, Kurniatun., Utami, Sri Rahayu., Lusiana, Betha., dan van Nordwijk, Meine. 2007. Neraca Hara dan Karbon Dalam Sistem Agroforestri. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.

Ismail. 2007. Kajian Lahan Kritis Dengan Pendekatan Analisis kemampuan Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Software LCLP di Daerah Aliran Sungai Opak Yogyakarta. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Lal, R. 2004. Agricultural Activities and the Global Carbon Cycle. Nutrien Cycling Agroecosystems 70: 103 – 116.

Post, W.M dan Kwon, K.C. 2000. Soil Carbon Sequestration and Land-Use Change: Processes and Potential. Global Change Biology 6: 317-328.
Rahayu, Subekti., Lusiana, Betha., dan Nordwijk, Meine van. 2008. Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah Pada Berbagai Penggunaan Lahan. Proyek Cadangan Karbon di kabupaten Nunukan Kalimantan Timur: Monitoring Secara Spasial dan Pemodelan.

Sutikno., Widiyanto., Santosa, L.W., Kurniawan, A., dan Purwanto, T.H. 2002. Potensi Sumberdaya Alam Gunungapi Merapi dan Pengelolaannya Untuk Mendukung Kehidupan Masyarakat Sekitar. Laporan Penelitian. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada.

Sutikno., Widiyanto., Santosa, L.W., Kurniawan, A., dan Purwanto, T.H. 2007. “Kerajaan Merapi” Sumberdaya Alam dan Daya Dukungnya. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada.
Trumbore, Susan .E. dan Torn, Margaret.S. 2003. Soils and the Global Carbon Cycle. NATO Advanced Study Institute.
Yusheng, Yang., Jinsheng, Xie., Hao, Sheng., Guangshui, Chen., Xu, Li., dan Zhijie, Yang. 2008. The Impact of Land Use/Cover Change on Storage and Quality of Soil Organic Carbon in Mid-Subtropical Mountainous Area of Southern China. Geographic Science 19: 49 – 57.

PENDEKATAN GEOMORFOLOGI UNTUK PENENTUAN KAWASAN BAHAYA TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL BAGIAN SELATAN


Oleh:
Arif Ashari


Abstrak


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerawanan tsunami di Kabupaten Bantul bagian selatan serta menjelaskan agihan keruangannnya dengan berdasarkan pada pendekatan geomorfologi. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan kajian geomorfologi dengan menentukan karakteristik medan sebagai parameter tingkat kerawanan tsunami serta melakukan interpretasi foto udara, peta rupabumi Indonesia, dan observasi lapangan. Dari proses tersebut, diperoleh peta satuan medan dan karakteristik medan yang digunakan sebagai dasar analisis tingkat kerawanan tsunami daerah penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi tingkat kerawanan tsunami dari tingkat kerawanan rendah hingga tingkat kerawanan sangat tinggi yang dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi. Faktor yang paling berpengaruh adalah bentuk lahan, ketinggian tempat, dan persentase lereng. Variasi persebaran keruangan faktor-faktor ini tentunya sangat mempengaruhi persebaran keruangan tingkat kerawanan tsunami. Peta kerawanan tsunami yang dihasilkan dapat dijadikan acuan dalam sistem mitigasi dan manajemen bencana. Agar dapat bermanfaat lebih baik lagi peta ini direkomendasikan untuk dipadukan dengan data-data lainnya untuk membangun sistem informasi penanggulangan bencana.


Kata Kunci: Geomorfologi, Bencana, Tsunami.


Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki tingkat kerawanan bencana alam sangat tinggi. Bencana alam sebenarnya merupakan suatu fenomena alam yang disebabkan oleh tenaga eksogen maupun tenaga endogen yang terjadi pada suatu wilayah tertentu dalam kurun waktu tertentu pula, mengakibatkan kerusakan lingkungan, jatuhnya korban jiwa manusia, hewan, dan kehilangan harta benda, serta rusaknya tatanan sosial dan ekonomi masyarakat secara signifikan (Sudibyakto, 1999 dalam Sudibyakto dan Pramono Hadi, 2001)
Bencana alam tsunami adalah salah satu yang berpotensi tinggi untuk terjadi di wilayah Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi letak wilayah Indonesia secara geologis yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Lempeng Indo-Australia bergerak kearah utara sedangkan Lempeng Pasifik bergerak kearah barat. Keduanya bertumbukan dengan Lempeng Eurasia dan membentuk zona-zona gempa yang sebagian besar berada di dasar laut dengan pusat-pusat gempa yang bervariasi kedalamannya dan sewaktu-waktu dapat membangkitkan gelombang tsunami (Prasetya, dkk., 1994). Peristiwa tsunami seringkali melanda berbagai daerah dan menimbulkan korban jiwa serta kerugian harta benda dalam jumlah yang tidak sedikit,


Tabel 1. Peristiwa tsunami di Indonesia tahun 1965-2004
No
Tahun
Daerah
Skala (richter)
Tinggi gelombang
Korban jiwa
1
1965
Seram, Maluku
7,5
4 meter
71
2
1967
Tinambu, Sulawesi
5,8
-
58
3
1968
Tambu, Sulawesi
7,4
8,10 meter
200
4
1969
Majene, Sulawesi
6,9
10 meter
64
5
1977
Sumba
8,0
15 meter
189
6
1982
Larantuka
5,9
-
13
7
1992
Flores
7,5
2 meter
2.100
8
1994
Banyuwangi
6,8
14 meter
238
9
1996
Palu
7,7
6 meter
8
10
1996
Biak
8,0
12 meter
160
11
1998
Taliabu, Maluku
7,7
3 meter
34
12
2000
Banggai, Sulawesi
7,6
3 meter
-
13
2000
Bengkulu
7,9
5 meter
90
14
2004
Aceh dan Sumut
8,9
5 meter
> 4.000
Sumber: Suban Angin (2005).


Kabupaten Bantul bagian selatan merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana alam tsunami. Secara geologis wilayah ini berada dekat dengan zona tunjaman antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Selain itu secara geomorfologi bagian selatan kabupaten bantul terutama pada bentang lahan pesisir mempunyai elevasi yang rendah. Prasetya, dkk (1994) menyatakan wilayah pantai selatan Jawa sangat rawan terhadap bencana tsunami hal ini disebabkan oleh bentuk topografinya yang cenderung landai tanpa peningkatan elevasi yang ekstrem, atau berbukit tetapi terdapat teluk yang diapit oleh bukit tersebut.
Kabupaten Bantul bagian selatan memiliki bentuk lahan yang bervariasi, hal ini tentunya juga mempengaruhi agihan tingkat kerawanan tsunami. Banyaknya korban jiwa akibat tsunami di berbagai daerah diantaranya akibat kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kondisi geomorfologi wilayahnya yang seharusnya dapat dijadikan tujuan dalam penyelamatan diri ketika terjadi tsunami. Untuk itu informasi mengenai tingkat kerawanan tsunami merupakan hal yang sangat penting, sebagai bentuk mitigasi bencana dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat daerah rawan bencana tsunami. Informasi daerah rawan tsunami ini juga dapat menghindarkan masyarakat untuk tidak terpengaruh isu-isu yang merugikan yang menyebabkan kepanikan dalam masyarakat seperti isu tsunami pada saat peristiwa gempabumi Bantul tahun 2006.


Tinjauan Pustaka
  1. Geomorfologi
Van Zuidam dan Cancelado (1979) mendefinisikan geomorfologi sebagai studi yang mendeskripsikan bentuk lahan dan proses yang mempengaruhinya dan menyelidiki interelasi antara bentuk dan proses tersebut dalam tatanan keruangannya. Sedangkan Verstappen (1983) mendefinisikan geomorfologi sebagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan bentuk lahan penyusun muka bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada pembentukan dan perkembangan pada masa yang akan datang, serta konteksnya dengan lingkungan.
Verstappen (1983) mengemukakan geomorfologi meliputi empat aspek utama yang terkait dengan terapannya yaitu Geomorfologi statik mempelajari bentuk lahan aktual, geomorfologi dinamik mempelajari proses-proses dan perubahan jangka pendek pada bentuk lahan tersebut, geomorfologi genetik mempelajari tentang perubahan jangka panjang relief, dan geomorfologi lingkungan mempelajari hubungan ekologi bentang lahan antara geomorfologi dan disiplin ilmu yang berdekatan atau parameter lahan.
Dalam geomorfologi terdapat empat aspek yang dipelajari yaitu morfologi, morfogenetik (proses), morfokronologi, dan morfoarnsemen. Dalam aspek morfologi selain mengenal satuan-satuan morfologinya juga menekankan pada aspek morfometrinya (termasuk relief-topografi), sedangkan dalam aspek genesis mencakup proses: pelapukan, erosi, gerakan massa tanah/batuan, tektonik dan vulkanik. Proses-proses tersebut sangat ditentukan oleh jenis material (tanah/batuan) dan strukturnya. Kaitan antara unsur-unsur dari bentuk lahan dengan unsur lingkungan yang lain termasuk kedalam aspek morfoaransemen (Sutikno, 1994).
Survei geomorfologi merupakan hal yang penting dan terkait dengan studi medan. Ada tiga pendekatan dalam melakukan survei geomorfologi yaitu (1). Survei analitik: survei yang paling mendasar, dengan berpedoman pada konsep morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan morfoaransemen. Survei ini menghasilkan satuan bentuklahan. (2). Survei sintetik: upaya sintetis dari aspek bentuklahan, relief, proses, geologi/litologi, tanah, hidrologi, vegetasi/penggunaan lahan, dan iklim. Hasilnya berupa satuan lahan atau satuan medan. (3). Survei pragmatik: kombinasi dari survei analitik dan sintetik. Survei ini bersifat terapan, mempertimbangkan aspek lingkungan medan/lahan, serta bertujuan pada masalah praktis (Verstappen, 1983).
Geomorfologi semula memang lebih dianggap sebagai kajian akademik saja. Akan tetapi dalam beberapa dekade terakhir ini geomorfologi telah menemukan terapannya dalam berbagai bidang. Verstappen (1983) mengemukakan terapan geomorfologi yang meliputi: (a) geomorfologi dalam survai dan pemetaan, (b) peranan geomorfologi dalam survai geologi, tanah, hidrologi, dan vegetasi, (c) geomorfologi dan penggunaan lahan pedesaan, urbanisasi, keteknikan, eksplorasi dan penyelidikan mineral, dan perencanaan pengembangan wilayah, (d) geomorfologi dan survei sintesa medan, banjir, kekeringan, stabilitas lereng dan erosi, dan bencana asal gaya endogen
Geomorfologi memiliki peran penting dalam upaya mitigasi bencana alam. Peta geomorfologi berperan dalam memberikan informasi kondisi fisik dan proses alami yang bekerja pada suatu bentuk lahan. Peta geomorfologi dapat digunakan untuk melakukananalisis terhadap bahaya alam pada suatu daerah, antara lain kajian daerah bahaya dan potensi resiko yang dapat digunakan untuk mitigasi bencana alam (Sumartoyo & Panuju Hadi, 1994).
  1. Bencana Alam
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh alam diantaranya meliputi gempa bumi, tsunami, letusan gunungapi, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor (Sudibyakto, 2007). Ditinjau dari letak geografi, kondisi topografi, keadaan iklim, dinamika bumi, faktor demografi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat, maka kemungkinan terjadi bencana yang diakibatkan oleh alam di wilayah Indonesia cukup besar yang setiap saat bisa terjadi tanpa dapat diperkirakan secara tepat tentang waktu, tempat, maupun intensitasnya (Andjasmaja, 1994).
  1. Tsunami
Istilah tsunami berasal dari Bahasa Jepang yang berarti gelombang pelabuhan, dan ada pula yang mengistilahkan tsunami dengan gelombang laut seismik. Murck, dkk (1996) mengemukakan bahwa tsunami ialah gelombang laut yang sangat panjang yang ditimbulkan oleh pergeseran mendadak dasar laut. Tsunami merupakan gelombang laut dengan periode yang sangat panjang dan dengan kecepatan tinggi, yang ditimbulkan oleh gangguan pada dasar laut, seperti adanya gempa bumi, letusan gunungapi, atau pelongsoran (Davis, 1996 dalam Sunarto, 1999).
Murck dkk (1996) mengelompokkan faktor-faktor yang menyebabkan tsunami menjadi: (a) faktor alami: gempabumi, peletusan gunungapi, pelongsoran, dan jatuhan meteor. (b) faktor perbuatan manusia, dalam hal ini adalah peledakan nuklir yang dilakukan di bawah laut.
Umumnya, tsunami terjadi akibat gempabumi dekat pantai atau di lepas pantai. Sebab utama pembentukan gelombang adalah pelepasan energi serta deformasi dan dislokasi kulitbumi yang menghasilkan gempabumi. Gempabumi yang menimbulkan tsunami disebut gempabumi tsunamigenik. Besarnya tsunami berkaitan dengan besarnya gempabumi yang membangkitkannya. Gempabumi yang terjadi di sepanjang permukaan sesar miring yang curam di dasar laut yang bergerak secara vertikal mampu membangkitkan tsunami secara efektif (Sunarto, 1999)
Peletusan gunungapi juga dapat membangkitkan tsunami. Peristiwa tsunami di Indonesia akibat peletusan gunungapi terjadi pada tahun 1883 (peletusan Gunungapi Krakatau). Peletusan gunungapi bawah laut yang eksplosif dapat memindahkan sejumlah volume besar material batuan, sehingga terjadi pula pemindahan massa air laut, yang mengakibatkan terjadinya tsunami. Reruntuhan dinding terjal gunungapi beserta rombakan dan aliran abunya dapat membantu membangkitkan tsunami (Sunarto, 1999).
Tsunami dapat pula disebabkan oleh pelongsoran tebing pantai ataupun pelongsoran di dasar laut. Dalam banyak kejadian pelongsoran tersebut umumnya disebabkan oleh gempabumi ataupun peletusan gunungapi. Sedimen dapat terendapkan disepanjang dinding canyon bawah laut yang kemudian terguncang oleh gempabumi, sehingga terjadi pelongsoran kedalam dasar canyon tersebut, akibatnya terjadi perpindahan massa air laut yang menimbulkan tsunami (Sunarto, 1999). Selain faktor alam diatas tsunami dapat terjadi akibat perbuatan manusia seperti percobaan peledakan nuklir di bawah laut.
Karakteristik tsunami sama dengan gelombang laut biasa, hanya ukurannya lebih besar. Jika gelombang samudera umumnya mempunyai panjang gelombang rata-rata 100 m maka tsunami mempunyai panjang gelombang hingga lebih dari 200 km. Pada laut terbuka dan dalam, kecepatan tsunami dapat mencapai 950 km/jam. Amplitudo tsunami jarang melebihi 1 m, lebih kecil daripada lebarnya dan punggungannya landai, tetapi ketika mencapai pantai, puncak tsunami mencapai 5-10 m (Sunarto, 1999).
Sebelum tsunami terjadi seringkali terlebih dahulu terjadi penyusutan muka laut yang disebut sebagai surutan (draw-down), kemudian puncak gelombang tsunami datang dengan cepat. Muka air laut yang mencapai daratan pantai disebut run-up, yang umumnya dinyatakan sebagai ketinggian (dalam meter) diatas pasang tinggi normal. Run-up pada suatu tsunami berbeda antara satu pantai dengan pantai lain, hal ini karena tinggi gelombang tsunami dipengaruhi oleh kedalaman air, profil dasar laut, dan bentuk garis pantai (Sunarto, 1999).
  1. Satuan Medan
Medan adalah suatu bidang lahan yang berhubungan dengan sifat-sifat fisik permukaan dan dekat permukaan yang kompleks dan penting bagi manusia. Medan meliputi unsur fisikal dimana termasuk diantaranya adalah iklim, relief, proses geomorfologi, batuan dan strukturnya, tanah, hidrologi, dan vegetasi. (Van Zuidam & Cancelado, 1979). Dasar untuk mempelajari medan adalah analisis dan klasifikasi bentuk lahan, sehingga analisis dan klasifikasi medan akan selalu terkait dengan geomorfologi.
Satuan medan adalah kelas medan yang menunjukkan suatu bentuk lahan atau kompleks bentuk lahan yang sejenis dalam hubungannya dengan karakteristik medan dan komponen-komponen medan yang utama. Satuan medan juga dapat diartikan sebagai satuan ekologis yang dapat berupa bentuk lahan, proses, batuan, tanah, air, dan vegetasi yang masing-masing saling mempengaruhi untuk menbentuk suatu keseimbangan alamiah (Van Zuidam & Cancelado, 1979).




Landasan Teori
Pengaruh tsunami terhadap darat (kerawanan tsunami) sangat dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi suatu wilayah. Dengan demikian untuk menilai tingkat kerawanan ini dapat digunakan pendekatan medan. Karakteristik medan untuk menilai kerawanan tsunami meliputi: bentuk lahan, kemiringan lereng, ketinggian tempat, unit relief, kerapatan vegetasi, dan jarak dari garis pantai. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.


Cara Penelitian
Penelitian ini diawali dengan terlebih dahulu menentukan karakteristik medan yang akan dianalisis sebagai parameter tingkat kerawanan tsunami. Langkah berikutnya adalah menyusun peta satuan medan. Peta ini akan digunakan untuk melihat pengaruh kondisi geomorfologi suatu wilayah dalam menentukan tingkat kerawanan tsunami. Peta satuan medan dibuat dengan overlay peta bentuk lahan, peta kemiringan lereng, peta ketinggian tempat, dan peta kerapatan vegetasi. Interpretasi foto udara dilakukan untuk membuat peta bentuk lahan dan kerapatan vegetasi, sedangkan peta kemiringan lereng dan peta ketinggian tempat dibuat berdasarkan hasil interpretasi peta rupabumi Indonesia. Pada tahap pembuatan peta ini juga dilakukan cek lapangan untuk revisi peta dan menambah masukan data bagi penyusunan peta akhir.
Analisis yang digunakan adalah pengharkatan (scoring), analisis SIG, dan analisis spasial. Pengharkatan dilakukan untuk menentukan tingkat kerawanan berdasarkan parameter medan yang disusun sebelumnya. Penentuan skor selain dengan menggunakan kriteria yang sudah ada juga dengan menggunakan asumsi-asumsi pemodelan. Analisis SIG dilakukan dalam penyusunan peta satuan medan. Analisis spasial digunakan untuk menjelaskan agihan tingkat kerawanan tsunami pada daerah penelitian dan kaitannya dengan kondisi geomorfologi.









































Gambar 1. Diagram alir kerangka berpikir


Hasil dan Pembahasan
  1. Lingkungan Fisik Daerah Penelitian
Daerah penelitian merupakan bagian selatan Kabupaten Bantul dengan luas wilayah kurang lebih 157 km2 yang meliputi wilayah enam kecamatan yaitu Kecamatan Srandakan, Sanden, Kretek, Pundong, Bambanglipuro, dan Pandak. Secara geologis wilayah ini sangat kompleks, yaitu tersusun oleh endapan material Gunung Merapi muda berusia kuarter, Formasi Sentolo, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, dan Formasi Wonosari yang berusia tersier, serta sedikit dataran koluvial yang berusia kuarter.
Secara geomorfologi wilayah ini juga cukup kompleks yaitu tersusun atas berbagai bentuk lahan antara lain Perbukitan Denudasional Terkikis Kuat, Perbukitan Denudasional Terkikis lemah, Perbukitan Terisolasi, Tanggul alam, dataran banjir, dataran alluvial-koluvial, dataran fluviovulkanik, beting gisik tua, beting gisik muda, dan gumuk pasir. Kabupaten Bantul bagian selatan merupakan wilayah Daerah Aliran Sungai Progo dan Opak-Oyo, dan merupakan cekungan air tanah dengan potensi air tanah yang tinggi.






  1. Karakteristik Medan Untuk Menilai Bahaya Tsunami
  1. Bentuk lahan
Bentuklahan yang paling rawan terhadap tsunami adalah bentuklahan asal proses marin, hal ini disebabkan karena bentuklahan ini terletak dekat dengan laut dan datar. Bentuklahan yang paling tidak rawan adalah perbukitan, pegunungan struktural atau denudasional dan lereng gunungapi karena elevasinya yang tinggi. Skor untuk bentuklahan dapat dilihat pada Tabel 2.


Tabel 2. Skor untuk bentuk lahan
No
Kriteria
Skor
1
BL asal proses marin
5
2
BL asal proses eolin/fluvial
4
3
BL asal proses fluvial-vulkanik, fluvial-denudasional
3
4
BL asal proses solusional
2
5
BL asal proses denudasional, struktural, lereng gunungapi
1
  1. Kemiringan lereng
Kriteria kerawanan tsunami dipengaruhi oleh besarnya persentase lereng. Lereng yang datar-landai, paling rawan terhadap tsunami. sedangkan lereng yang sangat curam, paling tidak rawan terhadap tsunami. Skor untuk kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 3.


Tabel 3. Skor untuk kemiringan lereng
Kelas lereng
Kriteria
Skor
I
< 8%
Datar-landai
5
II
8-14%
Miring
4
III
15-20%
Agak curam
3
IV
21-50%
Curam
2
V
>51%
Sangat curam
1
Sumber: Van Zuidam dan Cancelado (1979)


  1. Ketinggian tempat
Gelombang tsunami yang paling tinggi yang terjadi di Indonesia adalah yang terjadi pada saat letusan Gunungapi Krakatau tahun 1883, dengan ketinggian 40 m ( Setianto dan Soetoto, 2005). Berdasarkan hal ini, maka daerah dengan ketinggian > 40 m, kemungkinan besar akan aman dari tsunami. Skor untuk ketinggian tempat ditunjukkan Tabel 4.


Tabel 4. Skor untuk ketinggian tempat
No
Kriteria
Skor
1
<10 m
5
2
10 – 20 m
4
3
20 – 30 m
3
4
30 – 40 m
2
5
> 40 m
1

  1. Unit relief
Unit relief berupa datar paling rawan terhadap gelombang tsunami. Gelombang tsunami tidak akan sampai pada daerah yang berbukit atau bergunung. Skor untuk unit relief dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Skor untuk unit relief
No
Kriteria
Skor
1
Datar – berombak lemah
5
2
Berombak
4
3
Bergelombang
3
4
Berbukit
2
5
Bergunung
1
Sumber: Van Zuidam dan Cancelado (1979)


  1. Kerapatan vegetasi
Vegetasi baik alami maupun hasil budidaya manusia, misalnya hutan pantai dan mangrove, dapat meredam atau mengurangi energi gelombang tsunami (Setianto dan Soetoto, 2005). Skor untuk kerapatan vegetasi dilihat pada Tabel 6.


Tabel 6. Skor untuk kerapatan vegetasi
No
Kriteria
Skor
1
Lahan terbuka (<10%)
5
2
Vegetasi kerapatan sangat rendah (<25%)
4
3
Vegetasi kerapatan rendah (25 – 50%)
3
4
Vegetasi kerapatan sedang (50 – 75%)
2
5
Vegetasi kerapatan tinggi (>75%)
1
Sumber: Van Zuidam dan Cancelado (1979)


  1. Jarak dari garis pantai
Jarak dari garis pantai didasarkan pada asumsi, jika gempa terjadi dengan kekuatan 6,9 – 7 SR maka gelombang tsunami mencapai 1 km dari garis pantai tergantung pada topografi, ketinggian dan penggunaan lahan. Jika gempa pada kekuatan > 8 SR maka gelombang tsunami bisa mencapai jarak 5 km dari garis pantai tergantung pada topografi, ketinggian dan penggunaan lahan. Dengan demikian, daerah yang terletak > 5 km tingkat kerawanan untuk terjadi tsunami lebih kecil daripada daerah < 5km . Skor untuk jarak dari garis pantai dapat dilihat pada Tabel 7.


Tabel 7. Skor jarak garis pantai:
No
Kriteria
Skor
1
Jarak < 1 km dari garis pantai
5
2
1 – 3 km dari garis pantai
4
3
3 – 5 km dari garis pantai
3
4
5 – 7 km dari garis pantai
2
5
>7 km dari garis pantai
1


Penentuan kelas kerawanan tsunami:
Interval = jumlah skor tertinggi – jumlah skor terendah
jumlah kelas


Interval = 30 – 5 = 5
5


Tabel 8. Penentuan kelas kerawanan tsunami
Interval
Kriteria
Kelas
25 – 30
Tingkat kerawanan tsunami sangat tinggi
I
20 – 24
Tingkat kerawanan tsunami tinggi
II
15 – 19
Tingkat kerawanan tsunami sedang
III
10 – 14
Tingkat kerawanan tsunami rendah
IV
5 – 9
Tingkat kerawanan tsunami sangat rendah
V
  1. Tingkat Bahaya Tsunami Daerah Penelitian
Untuk menilai tingkat kerawanan tsunami, terlebih dahulu ditentukan karakteristik medan yang akan dianalisis sebagai parameter tingkat kerawanan tsunami. Karakteristik medan daerah penelitian adalah sebagai berikut:
  1. Bentuk lahan
Daerah penelitian mempunyai beberapa bentuklahan, yaitu bentuklahan asal proses marin, eolin yang terletak di wilayah kepesisiran, bentuklahan asal proses fluvial, vulkanik-fluvial, fluvial-denudasional, dan denudasional. Bentuk lahan di derah penelitian dapat dilihat dalam Gambar 2.
Gambar 2. Peta bentuk lahan daerah penelitian.






  1. Kemiringan lereng
Kemiringan lereng didaerah penelitian sebagian besar adalah datar-landai. Kondisi ini menurut Prasetya, dkk (1994) merupakan bentuk khas wilayah pantai selatan Jawa yang sangat rawan terhadap bencana tsunami. Kemiringan lereng daerah penelitian ditunjukkan Gambar 3.
Gambar 3. Kemiringan lereng daerah penelitian


  1. Ketinggian tempat
Ketinggian tempat < 10 m terletak pada daerah pesisir, bentuklahan denudasional mempunyai ketinggian > 40 m, sehingga daerah pesisir sangat rawan terhadap tsunami dengan ketinggian gelombang ≥10m. Ketinggian tempat daerah penelitian ditunjukkan oleh Gambar 4.
Gambar 4. Peta ketinggian tempat daerah penelitian
  1. Unit relief
Sebagian besar daerah penelitian termasuk dalam kriteria datar-berombak lemah, unit relief ini terutama pada daerah pesisir sehingga kemungkinan besar kerawanan tsunami terutama pada daerah pesisir.
  1. Kerapatan vegetasi
Kerapatan vegetasi di daerah penelitian bervariasi dari lahan kosong hingga vegetasi kerapatan tinggi. Kerapatan vegetasi yang rawan terhadap tsunami adalah lahan kosong dan kerapatan rendah. Daerah pesisir mempunyai kerapatan vegetasi yang rendah dan lahan kosong, sehingga apabila terjadi tsunami, daerah pesisir ini sangat rawan. Kerapatan vegetasi daerah penelitian ditunjukkan oleh Gambar 5.
Gambar 5. Peta kerapatan vegetasi daerah penelitian


  1. Jarak dari garis pantai
Jarak dari garis pantai terutama berpengaruh pada daerah datar dengan elevasi yang rendah. Wilayah yang berada pada jarak < 5 km dari garis pantai meliputi daerah pesisir, sebagian bentuklahan fluvial dan denudasional. Akan tetapi sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, tingkat kerawanan dari beberapa bentuklahan tersebut berbeda meskipun terletak pada jarak < 5 km dari garis pantai.
Pendekatan yang digunakan dalam analisis tingkat kerawanan tsunami ini adalah pendekatan medan, untuk itu disusun peta satuan medan dengan melakukan overlay peta bentuk lahan, peta lereng, peta ketinggian tempat, dan peta kerapatan vegetasi. Hasilnya diketahui daerah penelitian terdapat 25 satuan medan yang dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Peta satuan medan daerah penelitian


Selanjutnya dilakukan perhitungan berdasarkan pengharkatan karakteristik medan yang digunakan sebagai parameter tingkat kerawanan tsunami, untuk 25 satuan medan tersebut sebagai berikut:


Tabel 8. Perhitungan tingkat kerawanan tsunami
No
Satuan medan
Bentuk lahan
Lereng
Elevasi
Relief
Vegetasi
Jarak
Total& kelas
1
M1 I I Lk
5
5
5
5
5
5
30/I
2
M2 I i Vkr
5
5
5
5
3
5
27/I
3
F1 I I Lk
4
5
5
5
5
5
29/I
4
F1 I I Vkt
4
5
5
5
1
5
25/I
5
F1 I Ii Vkt
4
5
4
5
1
5
24/II
6
F1 I Iii Vkt
4
5
3
5
1
1
19/III
7
F1 I iv Vkt
4
5
2
5
1
1
18/III
8
F2 I i Vksr
4
5
5
5
4
5
28/I
9
F2 I I Lk
4
5
5
5
5
5
29/I
10
F3 I Iii Vkr
4
5
3
5
3
2
22/II
11
F3 I Ii Vkr
4
5
4
5
3
1
19/III
12
E1 II I Lk
4
4
5
4
5
5
27/I
13
E1 I I Lk
4
5
5
5
5
5
29/I
14
D1 II V Vksr
1
4
1
2
4
1
12/IV
15
D2 III v Vksr
1
3
1
2
4
3
14/IV
16
D2 IV v Vksr
1
2
1
2
4
2
12/IV
17
D2 V v Vksr
1
1
1
2
4
3
12/IV
18
V5 I I Vkr
3
5
5
5
3
4
25/I
19
V5 I Ii Vkr
3
5
4
5
3
3
23/II
20
V5 I Iii Vkr
3
5
3
5
3
1
20/II
21
V5 I iv Vkr
3
5
2
5
3
1
19/III
22
V5 I v Vkr
3
5
1
5
3
1
18/III
23
D3 II iv Vks
1
4
2
2
2
1
12/IV
24
D3 III iv Vks
1
3
1
2
2
1
10/IV
25
D3 III v Vks
1
3
1
2
2
1
10/IV