Selasa, 03 Mei 2011


PENDEKATAN GEOMORFOLOGI UNTUK PENENTUAN KAWASAN BAHAYA TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL BAGIAN SELATAN


Oleh:
Arif Ashari


Abstrak


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerawanan tsunami di Kabupaten Bantul bagian selatan serta menjelaskan agihan keruangannnya dengan berdasarkan pada pendekatan geomorfologi. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan kajian geomorfologi dengan menentukan karakteristik medan sebagai parameter tingkat kerawanan tsunami serta melakukan interpretasi foto udara, peta rupabumi Indonesia, dan observasi lapangan. Dari proses tersebut, diperoleh peta satuan medan dan karakteristik medan yang digunakan sebagai dasar analisis tingkat kerawanan tsunami daerah penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi tingkat kerawanan tsunami dari tingkat kerawanan rendah hingga tingkat kerawanan sangat tinggi yang dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi. Faktor yang paling berpengaruh adalah bentuk lahan, ketinggian tempat, dan persentase lereng. Variasi persebaran keruangan faktor-faktor ini tentunya sangat mempengaruhi persebaran keruangan tingkat kerawanan tsunami. Peta kerawanan tsunami yang dihasilkan dapat dijadikan acuan dalam sistem mitigasi dan manajemen bencana. Agar dapat bermanfaat lebih baik lagi peta ini direkomendasikan untuk dipadukan dengan data-data lainnya untuk membangun sistem informasi penanggulangan bencana.


Kata Kunci: Geomorfologi, Bencana, Tsunami.


Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki tingkat kerawanan bencana alam sangat tinggi. Bencana alam sebenarnya merupakan suatu fenomena alam yang disebabkan oleh tenaga eksogen maupun tenaga endogen yang terjadi pada suatu wilayah tertentu dalam kurun waktu tertentu pula, mengakibatkan kerusakan lingkungan, jatuhnya korban jiwa manusia, hewan, dan kehilangan harta benda, serta rusaknya tatanan sosial dan ekonomi masyarakat secara signifikan (Sudibyakto, 1999 dalam Sudibyakto dan Pramono Hadi, 2001)
Bencana alam tsunami adalah salah satu yang berpotensi tinggi untuk terjadi di wilayah Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi letak wilayah Indonesia secara geologis yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Lempeng Indo-Australia bergerak kearah utara sedangkan Lempeng Pasifik bergerak kearah barat. Keduanya bertumbukan dengan Lempeng Eurasia dan membentuk zona-zona gempa yang sebagian besar berada di dasar laut dengan pusat-pusat gempa yang bervariasi kedalamannya dan sewaktu-waktu dapat membangkitkan gelombang tsunami (Prasetya, dkk., 1994). Peristiwa tsunami seringkali melanda berbagai daerah dan menimbulkan korban jiwa serta kerugian harta benda dalam jumlah yang tidak sedikit,


Tabel 1. Peristiwa tsunami di Indonesia tahun 1965-2004
No
Tahun
Daerah
Skala (richter)
Tinggi gelombang
Korban jiwa
1
1965
Seram, Maluku
7,5
4 meter
71
2
1967
Tinambu, Sulawesi
5,8
-
58
3
1968
Tambu, Sulawesi
7,4
8,10 meter
200
4
1969
Majene, Sulawesi
6,9
10 meter
64
5
1977
Sumba
8,0
15 meter
189
6
1982
Larantuka
5,9
-
13
7
1992
Flores
7,5
2 meter
2.100
8
1994
Banyuwangi
6,8
14 meter
238
9
1996
Palu
7,7
6 meter
8
10
1996
Biak
8,0
12 meter
160
11
1998
Taliabu, Maluku
7,7
3 meter
34
12
2000
Banggai, Sulawesi
7,6
3 meter
-
13
2000
Bengkulu
7,9
5 meter
90
14
2004
Aceh dan Sumut
8,9
5 meter
> 4.000
Sumber: Suban Angin (2005).


Kabupaten Bantul bagian selatan merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana alam tsunami. Secara geologis wilayah ini berada dekat dengan zona tunjaman antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Selain itu secara geomorfologi bagian selatan kabupaten bantul terutama pada bentang lahan pesisir mempunyai elevasi yang rendah. Prasetya, dkk (1994) menyatakan wilayah pantai selatan Jawa sangat rawan terhadap bencana tsunami hal ini disebabkan oleh bentuk topografinya yang cenderung landai tanpa peningkatan elevasi yang ekstrem, atau berbukit tetapi terdapat teluk yang diapit oleh bukit tersebut.
Kabupaten Bantul bagian selatan memiliki bentuk lahan yang bervariasi, hal ini tentunya juga mempengaruhi agihan tingkat kerawanan tsunami. Banyaknya korban jiwa akibat tsunami di berbagai daerah diantaranya akibat kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kondisi geomorfologi wilayahnya yang seharusnya dapat dijadikan tujuan dalam penyelamatan diri ketika terjadi tsunami. Untuk itu informasi mengenai tingkat kerawanan tsunami merupakan hal yang sangat penting, sebagai bentuk mitigasi bencana dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat daerah rawan bencana tsunami. Informasi daerah rawan tsunami ini juga dapat menghindarkan masyarakat untuk tidak terpengaruh isu-isu yang merugikan yang menyebabkan kepanikan dalam masyarakat seperti isu tsunami pada saat peristiwa gempabumi Bantul tahun 2006.


Tinjauan Pustaka
  1. Geomorfologi
Van Zuidam dan Cancelado (1979) mendefinisikan geomorfologi sebagai studi yang mendeskripsikan bentuk lahan dan proses yang mempengaruhinya dan menyelidiki interelasi antara bentuk dan proses tersebut dalam tatanan keruangannya. Sedangkan Verstappen (1983) mendefinisikan geomorfologi sebagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan bentuk lahan penyusun muka bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada pembentukan dan perkembangan pada masa yang akan datang, serta konteksnya dengan lingkungan.
Verstappen (1983) mengemukakan geomorfologi meliputi empat aspek utama yang terkait dengan terapannya yaitu Geomorfologi statik mempelajari bentuk lahan aktual, geomorfologi dinamik mempelajari proses-proses dan perubahan jangka pendek pada bentuk lahan tersebut, geomorfologi genetik mempelajari tentang perubahan jangka panjang relief, dan geomorfologi lingkungan mempelajari hubungan ekologi bentang lahan antara geomorfologi dan disiplin ilmu yang berdekatan atau parameter lahan.
Dalam geomorfologi terdapat empat aspek yang dipelajari yaitu morfologi, morfogenetik (proses), morfokronologi, dan morfoarnsemen. Dalam aspek morfologi selain mengenal satuan-satuan morfologinya juga menekankan pada aspek morfometrinya (termasuk relief-topografi), sedangkan dalam aspek genesis mencakup proses: pelapukan, erosi, gerakan massa tanah/batuan, tektonik dan vulkanik. Proses-proses tersebut sangat ditentukan oleh jenis material (tanah/batuan) dan strukturnya. Kaitan antara unsur-unsur dari bentuk lahan dengan unsur lingkungan yang lain termasuk kedalam aspek morfoaransemen (Sutikno, 1994).
Survei geomorfologi merupakan hal yang penting dan terkait dengan studi medan. Ada tiga pendekatan dalam melakukan survei geomorfologi yaitu (1). Survei analitik: survei yang paling mendasar, dengan berpedoman pada konsep morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan morfoaransemen. Survei ini menghasilkan satuan bentuklahan. (2). Survei sintetik: upaya sintetis dari aspek bentuklahan, relief, proses, geologi/litologi, tanah, hidrologi, vegetasi/penggunaan lahan, dan iklim. Hasilnya berupa satuan lahan atau satuan medan. (3). Survei pragmatik: kombinasi dari survei analitik dan sintetik. Survei ini bersifat terapan, mempertimbangkan aspek lingkungan medan/lahan, serta bertujuan pada masalah praktis (Verstappen, 1983).
Geomorfologi semula memang lebih dianggap sebagai kajian akademik saja. Akan tetapi dalam beberapa dekade terakhir ini geomorfologi telah menemukan terapannya dalam berbagai bidang. Verstappen (1983) mengemukakan terapan geomorfologi yang meliputi: (a) geomorfologi dalam survai dan pemetaan, (b) peranan geomorfologi dalam survai geologi, tanah, hidrologi, dan vegetasi, (c) geomorfologi dan penggunaan lahan pedesaan, urbanisasi, keteknikan, eksplorasi dan penyelidikan mineral, dan perencanaan pengembangan wilayah, (d) geomorfologi dan survei sintesa medan, banjir, kekeringan, stabilitas lereng dan erosi, dan bencana asal gaya endogen
Geomorfologi memiliki peran penting dalam upaya mitigasi bencana alam. Peta geomorfologi berperan dalam memberikan informasi kondisi fisik dan proses alami yang bekerja pada suatu bentuk lahan. Peta geomorfologi dapat digunakan untuk melakukananalisis terhadap bahaya alam pada suatu daerah, antara lain kajian daerah bahaya dan potensi resiko yang dapat digunakan untuk mitigasi bencana alam (Sumartoyo & Panuju Hadi, 1994).
  1. Bencana Alam
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh alam diantaranya meliputi gempa bumi, tsunami, letusan gunungapi, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor (Sudibyakto, 2007). Ditinjau dari letak geografi, kondisi topografi, keadaan iklim, dinamika bumi, faktor demografi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat, maka kemungkinan terjadi bencana yang diakibatkan oleh alam di wilayah Indonesia cukup besar yang setiap saat bisa terjadi tanpa dapat diperkirakan secara tepat tentang waktu, tempat, maupun intensitasnya (Andjasmaja, 1994).
  1. Tsunami
Istilah tsunami berasal dari Bahasa Jepang yang berarti gelombang pelabuhan, dan ada pula yang mengistilahkan tsunami dengan gelombang laut seismik. Murck, dkk (1996) mengemukakan bahwa tsunami ialah gelombang laut yang sangat panjang yang ditimbulkan oleh pergeseran mendadak dasar laut. Tsunami merupakan gelombang laut dengan periode yang sangat panjang dan dengan kecepatan tinggi, yang ditimbulkan oleh gangguan pada dasar laut, seperti adanya gempa bumi, letusan gunungapi, atau pelongsoran (Davis, 1996 dalam Sunarto, 1999).
Murck dkk (1996) mengelompokkan faktor-faktor yang menyebabkan tsunami menjadi: (a) faktor alami: gempabumi, peletusan gunungapi, pelongsoran, dan jatuhan meteor. (b) faktor perbuatan manusia, dalam hal ini adalah peledakan nuklir yang dilakukan di bawah laut.
Umumnya, tsunami terjadi akibat gempabumi dekat pantai atau di lepas pantai. Sebab utama pembentukan gelombang adalah pelepasan energi serta deformasi dan dislokasi kulitbumi yang menghasilkan gempabumi. Gempabumi yang menimbulkan tsunami disebut gempabumi tsunamigenik. Besarnya tsunami berkaitan dengan besarnya gempabumi yang membangkitkannya. Gempabumi yang terjadi di sepanjang permukaan sesar miring yang curam di dasar laut yang bergerak secara vertikal mampu membangkitkan tsunami secara efektif (Sunarto, 1999)
Peletusan gunungapi juga dapat membangkitkan tsunami. Peristiwa tsunami di Indonesia akibat peletusan gunungapi terjadi pada tahun 1883 (peletusan Gunungapi Krakatau). Peletusan gunungapi bawah laut yang eksplosif dapat memindahkan sejumlah volume besar material batuan, sehingga terjadi pula pemindahan massa air laut, yang mengakibatkan terjadinya tsunami. Reruntuhan dinding terjal gunungapi beserta rombakan dan aliran abunya dapat membantu membangkitkan tsunami (Sunarto, 1999).
Tsunami dapat pula disebabkan oleh pelongsoran tebing pantai ataupun pelongsoran di dasar laut. Dalam banyak kejadian pelongsoran tersebut umumnya disebabkan oleh gempabumi ataupun peletusan gunungapi. Sedimen dapat terendapkan disepanjang dinding canyon bawah laut yang kemudian terguncang oleh gempabumi, sehingga terjadi pelongsoran kedalam dasar canyon tersebut, akibatnya terjadi perpindahan massa air laut yang menimbulkan tsunami (Sunarto, 1999). Selain faktor alam diatas tsunami dapat terjadi akibat perbuatan manusia seperti percobaan peledakan nuklir di bawah laut.
Karakteristik tsunami sama dengan gelombang laut biasa, hanya ukurannya lebih besar. Jika gelombang samudera umumnya mempunyai panjang gelombang rata-rata 100 m maka tsunami mempunyai panjang gelombang hingga lebih dari 200 km. Pada laut terbuka dan dalam, kecepatan tsunami dapat mencapai 950 km/jam. Amplitudo tsunami jarang melebihi 1 m, lebih kecil daripada lebarnya dan punggungannya landai, tetapi ketika mencapai pantai, puncak tsunami mencapai 5-10 m (Sunarto, 1999).
Sebelum tsunami terjadi seringkali terlebih dahulu terjadi penyusutan muka laut yang disebut sebagai surutan (draw-down), kemudian puncak gelombang tsunami datang dengan cepat. Muka air laut yang mencapai daratan pantai disebut run-up, yang umumnya dinyatakan sebagai ketinggian (dalam meter) diatas pasang tinggi normal. Run-up pada suatu tsunami berbeda antara satu pantai dengan pantai lain, hal ini karena tinggi gelombang tsunami dipengaruhi oleh kedalaman air, profil dasar laut, dan bentuk garis pantai (Sunarto, 1999).
  1. Satuan Medan
Medan adalah suatu bidang lahan yang berhubungan dengan sifat-sifat fisik permukaan dan dekat permukaan yang kompleks dan penting bagi manusia. Medan meliputi unsur fisikal dimana termasuk diantaranya adalah iklim, relief, proses geomorfologi, batuan dan strukturnya, tanah, hidrologi, dan vegetasi. (Van Zuidam & Cancelado, 1979). Dasar untuk mempelajari medan adalah analisis dan klasifikasi bentuk lahan, sehingga analisis dan klasifikasi medan akan selalu terkait dengan geomorfologi.
Satuan medan adalah kelas medan yang menunjukkan suatu bentuk lahan atau kompleks bentuk lahan yang sejenis dalam hubungannya dengan karakteristik medan dan komponen-komponen medan yang utama. Satuan medan juga dapat diartikan sebagai satuan ekologis yang dapat berupa bentuk lahan, proses, batuan, tanah, air, dan vegetasi yang masing-masing saling mempengaruhi untuk menbentuk suatu keseimbangan alamiah (Van Zuidam & Cancelado, 1979).




Landasan Teori
Pengaruh tsunami terhadap darat (kerawanan tsunami) sangat dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi suatu wilayah. Dengan demikian untuk menilai tingkat kerawanan ini dapat digunakan pendekatan medan. Karakteristik medan untuk menilai kerawanan tsunami meliputi: bentuk lahan, kemiringan lereng, ketinggian tempat, unit relief, kerapatan vegetasi, dan jarak dari garis pantai. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.


Cara Penelitian
Penelitian ini diawali dengan terlebih dahulu menentukan karakteristik medan yang akan dianalisis sebagai parameter tingkat kerawanan tsunami. Langkah berikutnya adalah menyusun peta satuan medan. Peta ini akan digunakan untuk melihat pengaruh kondisi geomorfologi suatu wilayah dalam menentukan tingkat kerawanan tsunami. Peta satuan medan dibuat dengan overlay peta bentuk lahan, peta kemiringan lereng, peta ketinggian tempat, dan peta kerapatan vegetasi. Interpretasi foto udara dilakukan untuk membuat peta bentuk lahan dan kerapatan vegetasi, sedangkan peta kemiringan lereng dan peta ketinggian tempat dibuat berdasarkan hasil interpretasi peta rupabumi Indonesia. Pada tahap pembuatan peta ini juga dilakukan cek lapangan untuk revisi peta dan menambah masukan data bagi penyusunan peta akhir.
Analisis yang digunakan adalah pengharkatan (scoring), analisis SIG, dan analisis spasial. Pengharkatan dilakukan untuk menentukan tingkat kerawanan berdasarkan parameter medan yang disusun sebelumnya. Penentuan skor selain dengan menggunakan kriteria yang sudah ada juga dengan menggunakan asumsi-asumsi pemodelan. Analisis SIG dilakukan dalam penyusunan peta satuan medan. Analisis spasial digunakan untuk menjelaskan agihan tingkat kerawanan tsunami pada daerah penelitian dan kaitannya dengan kondisi geomorfologi.









































Gambar 1. Diagram alir kerangka berpikir


Hasil dan Pembahasan
  1. Lingkungan Fisik Daerah Penelitian
Daerah penelitian merupakan bagian selatan Kabupaten Bantul dengan luas wilayah kurang lebih 157 km2 yang meliputi wilayah enam kecamatan yaitu Kecamatan Srandakan, Sanden, Kretek, Pundong, Bambanglipuro, dan Pandak. Secara geologis wilayah ini sangat kompleks, yaitu tersusun oleh endapan material Gunung Merapi muda berusia kuarter, Formasi Sentolo, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, dan Formasi Wonosari yang berusia tersier, serta sedikit dataran koluvial yang berusia kuarter.
Secara geomorfologi wilayah ini juga cukup kompleks yaitu tersusun atas berbagai bentuk lahan antara lain Perbukitan Denudasional Terkikis Kuat, Perbukitan Denudasional Terkikis lemah, Perbukitan Terisolasi, Tanggul alam, dataran banjir, dataran alluvial-koluvial, dataran fluviovulkanik, beting gisik tua, beting gisik muda, dan gumuk pasir. Kabupaten Bantul bagian selatan merupakan wilayah Daerah Aliran Sungai Progo dan Opak-Oyo, dan merupakan cekungan air tanah dengan potensi air tanah yang tinggi.






  1. Karakteristik Medan Untuk Menilai Bahaya Tsunami
  1. Bentuk lahan
Bentuklahan yang paling rawan terhadap tsunami adalah bentuklahan asal proses marin, hal ini disebabkan karena bentuklahan ini terletak dekat dengan laut dan datar. Bentuklahan yang paling tidak rawan adalah perbukitan, pegunungan struktural atau denudasional dan lereng gunungapi karena elevasinya yang tinggi. Skor untuk bentuklahan dapat dilihat pada Tabel 2.


Tabel 2. Skor untuk bentuk lahan
No
Kriteria
Skor
1
BL asal proses marin
5
2
BL asal proses eolin/fluvial
4
3
BL asal proses fluvial-vulkanik, fluvial-denudasional
3
4
BL asal proses solusional
2
5
BL asal proses denudasional, struktural, lereng gunungapi
1
  1. Kemiringan lereng
Kriteria kerawanan tsunami dipengaruhi oleh besarnya persentase lereng. Lereng yang datar-landai, paling rawan terhadap tsunami. sedangkan lereng yang sangat curam, paling tidak rawan terhadap tsunami. Skor untuk kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 3.


Tabel 3. Skor untuk kemiringan lereng
Kelas lereng
Kriteria
Skor
I
< 8%
Datar-landai
5
II
8-14%
Miring
4
III
15-20%
Agak curam
3
IV
21-50%
Curam
2
V
>51%
Sangat curam
1
Sumber: Van Zuidam dan Cancelado (1979)


  1. Ketinggian tempat
Gelombang tsunami yang paling tinggi yang terjadi di Indonesia adalah yang terjadi pada saat letusan Gunungapi Krakatau tahun 1883, dengan ketinggian 40 m ( Setianto dan Soetoto, 2005). Berdasarkan hal ini, maka daerah dengan ketinggian > 40 m, kemungkinan besar akan aman dari tsunami. Skor untuk ketinggian tempat ditunjukkan Tabel 4.


Tabel 4. Skor untuk ketinggian tempat
No
Kriteria
Skor
1
<10 m
5
2
10 – 20 m
4
3
20 – 30 m
3
4
30 – 40 m
2
5
> 40 m
1

  1. Unit relief
Unit relief berupa datar paling rawan terhadap gelombang tsunami. Gelombang tsunami tidak akan sampai pada daerah yang berbukit atau bergunung. Skor untuk unit relief dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Skor untuk unit relief
No
Kriteria
Skor
1
Datar – berombak lemah
5
2
Berombak
4
3
Bergelombang
3
4
Berbukit
2
5
Bergunung
1
Sumber: Van Zuidam dan Cancelado (1979)


  1. Kerapatan vegetasi
Vegetasi baik alami maupun hasil budidaya manusia, misalnya hutan pantai dan mangrove, dapat meredam atau mengurangi energi gelombang tsunami (Setianto dan Soetoto, 2005). Skor untuk kerapatan vegetasi dilihat pada Tabel 6.


Tabel 6. Skor untuk kerapatan vegetasi
No
Kriteria
Skor
1
Lahan terbuka (<10%)
5
2
Vegetasi kerapatan sangat rendah (<25%)
4
3
Vegetasi kerapatan rendah (25 – 50%)
3
4
Vegetasi kerapatan sedang (50 – 75%)
2
5
Vegetasi kerapatan tinggi (>75%)
1
Sumber: Van Zuidam dan Cancelado (1979)


  1. Jarak dari garis pantai
Jarak dari garis pantai didasarkan pada asumsi, jika gempa terjadi dengan kekuatan 6,9 – 7 SR maka gelombang tsunami mencapai 1 km dari garis pantai tergantung pada topografi, ketinggian dan penggunaan lahan. Jika gempa pada kekuatan > 8 SR maka gelombang tsunami bisa mencapai jarak 5 km dari garis pantai tergantung pada topografi, ketinggian dan penggunaan lahan. Dengan demikian, daerah yang terletak > 5 km tingkat kerawanan untuk terjadi tsunami lebih kecil daripada daerah < 5km . Skor untuk jarak dari garis pantai dapat dilihat pada Tabel 7.


Tabel 7. Skor jarak garis pantai:
No
Kriteria
Skor
1
Jarak < 1 km dari garis pantai
5
2
1 – 3 km dari garis pantai
4
3
3 – 5 km dari garis pantai
3
4
5 – 7 km dari garis pantai
2
5
>7 km dari garis pantai
1


Penentuan kelas kerawanan tsunami:
Interval = jumlah skor tertinggi – jumlah skor terendah
jumlah kelas


Interval = 30 – 5 = 5
5


Tabel 8. Penentuan kelas kerawanan tsunami
Interval
Kriteria
Kelas
25 – 30
Tingkat kerawanan tsunami sangat tinggi
I
20 – 24
Tingkat kerawanan tsunami tinggi
II
15 – 19
Tingkat kerawanan tsunami sedang
III
10 – 14
Tingkat kerawanan tsunami rendah
IV
5 – 9
Tingkat kerawanan tsunami sangat rendah
V
  1. Tingkat Bahaya Tsunami Daerah Penelitian
Untuk menilai tingkat kerawanan tsunami, terlebih dahulu ditentukan karakteristik medan yang akan dianalisis sebagai parameter tingkat kerawanan tsunami. Karakteristik medan daerah penelitian adalah sebagai berikut:
  1. Bentuk lahan
Daerah penelitian mempunyai beberapa bentuklahan, yaitu bentuklahan asal proses marin, eolin yang terletak di wilayah kepesisiran, bentuklahan asal proses fluvial, vulkanik-fluvial, fluvial-denudasional, dan denudasional. Bentuk lahan di derah penelitian dapat dilihat dalam Gambar 2.
Gambar 2. Peta bentuk lahan daerah penelitian.






  1. Kemiringan lereng
Kemiringan lereng didaerah penelitian sebagian besar adalah datar-landai. Kondisi ini menurut Prasetya, dkk (1994) merupakan bentuk khas wilayah pantai selatan Jawa yang sangat rawan terhadap bencana tsunami. Kemiringan lereng daerah penelitian ditunjukkan Gambar 3.
Gambar 3. Kemiringan lereng daerah penelitian


  1. Ketinggian tempat
Ketinggian tempat < 10 m terletak pada daerah pesisir, bentuklahan denudasional mempunyai ketinggian > 40 m, sehingga daerah pesisir sangat rawan terhadap tsunami dengan ketinggian gelombang ≥10m. Ketinggian tempat daerah penelitian ditunjukkan oleh Gambar 4.
Gambar 4. Peta ketinggian tempat daerah penelitian
  1. Unit relief
Sebagian besar daerah penelitian termasuk dalam kriteria datar-berombak lemah, unit relief ini terutama pada daerah pesisir sehingga kemungkinan besar kerawanan tsunami terutama pada daerah pesisir.
  1. Kerapatan vegetasi
Kerapatan vegetasi di daerah penelitian bervariasi dari lahan kosong hingga vegetasi kerapatan tinggi. Kerapatan vegetasi yang rawan terhadap tsunami adalah lahan kosong dan kerapatan rendah. Daerah pesisir mempunyai kerapatan vegetasi yang rendah dan lahan kosong, sehingga apabila terjadi tsunami, daerah pesisir ini sangat rawan. Kerapatan vegetasi daerah penelitian ditunjukkan oleh Gambar 5.
Gambar 5. Peta kerapatan vegetasi daerah penelitian


  1. Jarak dari garis pantai
Jarak dari garis pantai terutama berpengaruh pada daerah datar dengan elevasi yang rendah. Wilayah yang berada pada jarak < 5 km dari garis pantai meliputi daerah pesisir, sebagian bentuklahan fluvial dan denudasional. Akan tetapi sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, tingkat kerawanan dari beberapa bentuklahan tersebut berbeda meskipun terletak pada jarak < 5 km dari garis pantai.
Pendekatan yang digunakan dalam analisis tingkat kerawanan tsunami ini adalah pendekatan medan, untuk itu disusun peta satuan medan dengan melakukan overlay peta bentuk lahan, peta lereng, peta ketinggian tempat, dan peta kerapatan vegetasi. Hasilnya diketahui daerah penelitian terdapat 25 satuan medan yang dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Peta satuan medan daerah penelitian


Selanjutnya dilakukan perhitungan berdasarkan pengharkatan karakteristik medan yang digunakan sebagai parameter tingkat kerawanan tsunami, untuk 25 satuan medan tersebut sebagai berikut:


Tabel 8. Perhitungan tingkat kerawanan tsunami
No
Satuan medan
Bentuk lahan
Lereng
Elevasi
Relief
Vegetasi
Jarak
Total& kelas
1
M1 I I Lk
5
5
5
5
5
5
30/I
2
M2 I i Vkr
5
5
5
5
3
5
27/I
3
F1 I I Lk
4
5
5
5
5
5
29/I
4
F1 I I Vkt
4
5
5
5
1
5
25/I
5
F1 I Ii Vkt
4
5
4
5
1
5
24/II
6
F1 I Iii Vkt
4
5
3
5
1
1
19/III
7
F1 I iv Vkt
4
5
2
5
1
1
18/III
8
F2 I i Vksr
4
5
5
5
4
5
28/I
9
F2 I I Lk
4
5
5
5
5
5
29/I
10
F3 I Iii Vkr
4
5
3
5
3
2
22/II
11
F3 I Ii Vkr
4
5
4
5
3
1
19/III
12
E1 II I Lk
4
4
5
4
5
5
27/I
13
E1 I I Lk
4
5
5
5
5
5
29/I
14
D1 II V Vksr
1
4
1
2
4
1
12/IV
15
D2 III v Vksr
1
3
1
2
4
3
14/IV
16
D2 IV v Vksr
1
2
1
2
4
2
12/IV
17
D2 V v Vksr
1
1
1
2
4
3
12/IV
18
V5 I I Vkr
3
5
5
5
3
4
25/I
19
V5 I Ii Vkr
3
5
4
5
3
3
23/II
20
V5 I Iii Vkr
3
5
3
5
3
1
20/II
21
V5 I iv Vkr
3
5
2
5
3
1
19/III
22
V5 I v Vkr
3
5
1
5
3
1
18/III
23
D3 II iv Vks
1
4
2
2
2
1
12/IV
24
D3 III iv Vks
1
3
1
2
2
1
10/IV
25
D3 III v Vks
1
3
1
2
2
1
10/IV

2 komentar:

  1. mas??petanya ada gak????pengen lihat contohnya

    BalasHapus
  2. peta satuan medannya ada nggak mas???
    mau dijadiin referensi

    BalasHapus